Kepadatan Sel Spirulina
Hasil pengamatan selama penelitian pengaruh pemberian pupuk organik limbah cair tahu dengan dosis yang berbeda terhadap pertumbuhan populasi Spirulina sp. diperoleh data kepadatan yang berbeda.
Kepadatan sel Spirulina sp. terbesar terjadi pada perlakuan B (dosis limbah cair tahu 31 mg/l) yaitu sebesar 464 sel/ml. Kemudian diikuti oleh perlakuan C (dosis limbah cair tahu 62 mg/l) sebesar 434 sel/ml; D (dosis limbah cair tahu 93 mg/l) sebesar 298,33 sel/ml; E (dosis limbah cair tahu 124 mg/l).
Berdasarkan data hasil penelitian, kepadata sel Spirulina sp. pada awal penelitian secara umum setiap perlakuan masih rendah. Sel Spirulina sp. pada awal pemeliharaan mengalami fase adaptasi, yaitu fase menyesuaikan diri dengan lingkungannya setelah media kultur tersebut diberi pupuk atau nutrien.2 Kepadatan sel Spirulina sp. mencapai puncaknya pada hari ke-4 dan ada juga pada hari ke-5. Peningkatan kepadatan sel Spirulina sp. setiap perlakuan berbeda. Perbedaan kepadatan sel tersebut disebabkan adanya kemampuan sel dalam memanfaatkan nutrien untuk pertumbuhannya.
Besarnya kepadatan sel Spirulina sp. pada perlakuan B dikarenakan dosis limbah cair tahu yang diberikan dalam jumlah yang cukup, sehingga Spirulina sp. dapat memanfaatkan nutrien lebih efektif. Untuk perlakuan C, D, E dan A kepadatannya secara berturut-turut lebih rendah dari perlakuan B, dikarenakan semakin tinggi dosis pemberian limbah cair tahu, maka efektivitas pemanfaatan nutrien semakin rendah. Apabila nutrien diberikan pada media kultur dalam jumlah berlebih maka bersifat racun yang dapat menghambat pertumbuhan (Hastuti, DS dan H. Handajani, 2001).
Tingkat efektivitas pemanfaatan nutrien yang rendah dapat juga disebabkan kondisi media kultur yang semakin keruh akibat penumpukan pupuk organik limbah cair tahu. Nutrien media tumbuh Spirulina sp. dapat ditunjukan dengan kandungan phospat dan nitrat media kultur pada akhir penelitian. Kepadatan terendah terjadi pada perlakuan A sebab media kulturnya tanpa pemberian limbah cair tahu sehingga tidak ada nutrienyang bisa dimanfaatkan untuk pertumbuhan.
Kandungan phospat pada perlakuan B paling rendah (Tabel 3) yaitu sebesar 2,098 ppm jika dibandingkan perlakuan A, C, D dan E yang masing-masing adalah 2,741 ppm; 3,047 ppm; 3,618 ppm dan 11,391 ppm. Kecilnya kandungan phospat pada perlakuan B disebabkan kepadatan Spirulina sp. pada media tersebut, sehingga pemanfaatan phospat juga tinggi. Berbeda dengan perlakuan A, C, D dan E yang justru kandungannya semakin tinggi, seiring dengan semakin semakin tingginya dosis limbah cair tahu yang diberikan, kecuali perlakuan A, di mana kandungan phospat disebabkan murni dari penguraian Spirulina sp. yang mati. Semakin tinggi dosis limbah cair tahu yang diberikan maka tingkat kekeruhan juga semakin tinggi, sehingga phospat semakin tidak termanfaatkan. Tingkat kekeruhan yang tinggi menyebabkan phytoplankton tidak bisa memanfaatkan phospat secara efektif (Subarijanti, H.U., 1994).
Kandungan nitrat media kultur pada akhir penelitian juga menunjukan nilai yang berbeda setiap perlakuannya. Perlakuan B mempunyai kandungan nitrat paling tinggi (Tabel 1) yaitu sebesar 21,040 ppm, jika dibandingkan dengan perlakuan A, C, D dan E yang masing-masing adalah 2,914 ppm; 9,123 ppm; 12,440 ppm dan 15,828 ppm. Besarnya kandungan nitrat pada perlakuan B dikarenakan kepadatan Spirulina sp. yang tinggi, sehingga pada saat akhir penelitian, Spirulina sp. mengalami kematian kemudian terurai menjadi nitrat. Untuk perlakuan C, D dan E mempunyai kandungan nitrat yang semakin tinggi seiring dengan tingginya dosis limbah cair tahu yang diberikan selain dipengaruhi juga oleh kematian Spirulina sp. Kandungan nitrat media kultur terendah adalah perlakuan A sebab tidak dilakukan pemberian limbah cair tahu.
Artikel Kepadatan Sel Spirulina ini dibuat berdasarkan referensi dari materi bahan kuliah, semoga membantu dan dapat menambah wawasan anda.
Artikel Kepadatan Sel Spirulina ini dibuat berdasarkan referensi dari materi bahan kuliah, semoga membantu dan dapat menambah wawasan anda.