Sejarah Lahan Rawa Pasang Surut di Indonesia
Lahan rawa pasang surut di Indonesia mulai memperoleh perhatian, kajian dan garapan secara serba cukup (comprehensive) sebagai suatu sumber daya pada tahun 1968. Kepedulian ini dibangkitkan oleh persoalan yang sangat mendesak akan pemenuhan kebutuhan beras yang terus meningkat.
Usaha penyawahan lahan rawa pasang surut sebetulnya bukanlah hal baru. Orang-orang bugis sejak puluhan tahun sebelumnya telah menyawahkannya diberbagai tempat di pantai timur Sumatra dan di pantai selatan Kalimantan dengan beraneka tingkat keberhasilan. Dengan teknik tradisional sederhana, mereka dapat membuka persawahan, meskipun dengan hasil panen dn indeks pertanaman rendah menurut ukuran sekarang. Namun bagi pencukupan kebutuhan pangan dan pemenuhan baku hidup pedesaan waktu itu hasil panen serendah 0,8 1 ton.ha-1padi sekali setahun sudah memadai. Luas lahan yang mampu mereka buka juga terbatas, hanya dapat menjangkau sejauh 1-2 km kepedalaman. Menurut ukuran sekarang teknik pembukaan lahan seperti itu tidak efektif. Mereka memang tidak memerlikan teknik yang lebih efektif, karena dengan luasan yang terbatas kebutuhan akan produksi beras sudah tercukupi. Walau itu beras bukan satu-satunya bahan pangan pokok.
Jauh sebelum tahun 1968 perhatian para pakar pada lahan rawa pantai, khususnya yang bergambut, tidaklah dapat dikatakan langka. Hutan gambut tropika pertama kali ditemukam didataran pantai timur Sumatera, meliputi wilayah sangat luas, pada tahun 1895. Kemudian peninjauan, eksplorasi dan sigi (survey) berlanjut antara tahun 1930an dan 1950an di daerah-daerah pantai timur Sumatera dan pantai barat dan selatan Kalimantan. Akan tetapi minat para pakar waktu itu baru terbatas pada pengenalan dan pembandingannya dengan yang ditemukan di kawasan iklim sedang dan dingin berkenaan dengan ekologi, susunan flora, dan sifat-sifatnya. Perhatian mereka belum tertuju pada potensi pengembangannya untuk tujuan produktif. Hanya secara selintas dikemukakan bahwa lahan rawa gambut sebaiknya didiamkan saja karena potensi pertaniannya rendah. Pandangan ini berkembang dengan pengenalan lebih jauh. Pada tahun 1970an kebanyakan para pakar tanah negara barat, khususnya dari Belanda, sangat menyangsikan potensi lahan rawa pasang surut untuk dikembangkan bagi tujuan pertanian. Pendapat ini mereka dasarkan atas sejumlah fakta yang mereka tafsirkan sebagai kendala berat berkenaan dengan hidrologi, gambut tebal, amblesan (subsidence), potensi membentuk tanah sulfat masam, konsistensi tanah rendah, pelindian hara oleh gerakan pasang surut air, penyusupan air laut, dan keterjangkauan (accessibility).
Para pakar tanah Indonesia, dengan belajar dari pengalaman orang-orang bugis dan dukungan kuat para pakar tanah Thailand dan Vietnam dengan pengalaman mereka di Negara masing-masing, mengambil sikap tidak pesimistik namun juga tidak optimistic berlebihan. Sikap ini diambil karena tiga pertimbangan :
• Lahan rawa pasang surut mencakup luasan puluhan juta hektar di Indonesia dank arena itu merupakan kimah (asset) yang tidak boleh diabaikan,
• Untuk menyawahkan lahan rawa pasang surut tidak diperlukan pengadaan air yang biasanya memerlukan konstruksi-konstruksi mahal, karena air yang diperlukan sudah tersedia di tempat, tinggal ditata dengan biaya kurang mahal, dan
• Secara nasional pencukupan produksi beras merupakan tindakan strategis.
Disamping tiga pertimbangan tadi, ada pertimbangan yang bersifat lebih pribadi. Kesediaan para pakar tanah Indonesia menerima tantang berat, baik dari alam maupun dari sikap para rekan pakar dari negara maju, dihidupi oleh tanggung janji (commitment) mereka kepada perbaikan kehidupan rakyat pedesaan pada umumnya dan rakyat petani pada khususnya, dan kebanggaan berlomba dengan para pakar negara maju dalam pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
Landasan Pelanjutan Pengembangan Rawa Pasang Surut
Agar pelanjutan pengembangan rawa pasang surut dapat berlangsung pasti dan berlanjut secara sistematis, panggah (consistent) dengan maksud dan tujuan semula, dan berkesinambungan, diperlukan peletakan landasan kuat sebagai berikut :
1. Keyakinan akan potensi lahan rawa pasnagn surut sebagai kimah nasional penting. Untuk membentuk keyakinan ini diperlukan inventarisasi andal yang menyangkut penetapan :
• Luas total lahan rawa pasang surut (angkanya sekarang masih simpang siur)
• Harkat untuk penggunaan pertanian menurut persebarab kelas-kelas harkat lahan yang dipilahkan berdasarkan suatu sistem klasifikasi terpilih (sekarang belum tuntas, baik klasifikasinya maupun pemetaannya)
1. Keyakinan akan manfaat dan kelangsungan penelitian dan pengembangan lahan rawa pasang surut bagi pembangunan wilayah pada umumnya dan bagi pembangunan pertanian pada khususnya. Untuk menumbuhkan keyakinan ini diperlukan pembentukan organisasi mapan dan penyusunan rencana kerja pasti yang melibatkan
• Perancangan metodologi yang menjamin perolehan hasil kerja yang memenuhi baku mutu IPTEK dan keterpaduan penelitian proaktif dan reaktif (sampai sekarang belum sepenuhnya tercapai)
• Pengadaan dukungan prasarana secara terus menerus (sampai sekarang tidak pernah pasti)
• Penyediaan sarana secara sinambung (sampai sekarang tidak pernah pasti)
• Jaminan penerapan hasil dalam program nasional (sampai sekarang jarang sekali terjadi)
1. Jaminan bagi kemandirian penelitian yang berjalan atas cerapan (perception) dan anggitan (conception) IPTEK, kepentingan nasional, dan kemaslahatan rakyat umum, bukan atas kepentingan politik dan pandangan ad hoc (sampai sekarang tidak pernah terjamin).
2. Inventarisasi dan kompilasi hasil-hasil penelitian dan pengembangan yang telah terkumpul selama ini, yang telah mencakup kurun waktu hampir 30 tahun sejak tahun 1968, untuk membentuk pangkal tolak kajian. Dari sini akan dapat dievaluasi telaah apa yang sudah dan belum dianggap memadai, dan telaah apa yang masih perlu diadakan (sampai sekarang belum pernah dilakukan).
3. Insentif kepakaran berupa penyediaan wadah publikasi hasil-hasil tahapan penelitian dan pengembangan secara teratur dan berkualifikasi ilmiah (sekarang belum ada)
Menurut hidrologinya, lahan rawa merupakan suatu kesatuan wilayah. Suatu tindakan tata air di sustu tempat berakibat langsung atas seluruh kawasan. Maka usaha pengembangan lahan rawa harus selalu berskala besar. Ini merupakan pula perbedaan pokok antara lahan rawa dan lahan bukan rawa. Jarak jangkauan gerakan pasang surut ke darat ditentukan oleh ketinggian dan bentuk muka daratan pantai dan perubahannya kearah pedalaman, serta tahapan hidraulika sepanjang jalur rambatan. Estuari (sungai atau bagian hilir sungai yang memasukkan air pasang dan mengeluarkan air surut) adalah jalur rambatan utama gerakan pasang surut. Makin panjang dan lebar estuarinya, makin jauh jarak jangkauan gerakan pasang surut ke pedalaman. Estuari panjang jika daratan dan keduanya nyaris tidak berubah sampai jauh di pedalaman. Makin rapat agihan estuarinya makin lebar wilayah yang terjangkau oleh gerakan pasang surut. Karena ini kawasan rawa pasang surut potensial dapat diperluas dengan jalan menggali saluran yang menembus sampai ke laut, memperpanjang estuari pendek, mencabangkan estuary, atau menghubungkan estuari yang satu dengan yang lainnya.
Jadi dengan mengubah hidrologi lahan, luas kawasan rawa pasang surut potensial dapat diperbesar. Maka disamping reklamasi, perluasan kawasan potensial merupakan gatra (aspect) pula dari pengembangan lahan rawa pasang surut. Akan tetapi oleh karena perluasannya bersifat buatan (menggiatkan gejala alam), kelestariannya bergantung pada kemantapan dukungan teknologi. Perluasan kawasan rawa pasang surut dengan teknologi mempunyai padanan pada lahan atasan berupa perluasan jaringan irigasi. Dalam pengembangan lahan rawa pasang surut (juga lahan rawa yang lain) terlibat banyak sekali kegiatan teknk sipil, mulai dari tahap awal, kemudian pemantapan, sampai dengan tahap akhir berupa pemeliharaan hasil pengembangan. Pekerjaan pemantapan dan pemeliharaan sangat penting karena hidrologi lahan peka terhadap perubahan kecil saja pada salah satu faktor pengendalinya, khususnya hidrologi lahan pasang surut. Faktor pengendali hidrologi yang terpenting adalah tata saluran.
Yang sering ditakuti dalam pengembangan lahan rawa pasang surut adalah munculnya tanah sulfat masam sebagai akibat pengatusan. Namun tidak diperlukan waktu lama untuk membuang senyawa sulfat masam dari daerah parakaran pertanaman. Teknik reklamasi yang terbukti sangkil (effective) adalah pembuatan surjan atau tabukan dan penggelontoran dengan aliran air surut. Penggelontoran menjadi lebih berdaya kalau dikerjakan dengan air payau. Air payau berguna menaikkan kejenuhan basa tanah dan mengekstrasi Al. Dalam tanah sulfat masam kejenuhan Al sering meninggi sejalan dengan kemajuan pelapukan sulfat masam. Dengan demikian penggelontoran dengan air payau dapat lebih cepat menurunkan kejenuhan Al.
Tujuan Pengembangan Lahan Rawa Pasang Surut
Pengembangan lahan rawa pasang surut perlu diberi tujuan jelas, baik berjangka dekat maupun berjangka jauh. Tujuan berjangka dekat bersasaran menyelesaikan persoalan-persoalan yang telah muncul. Untuk ini digunakan rancangan penelitian reaktif. Tujuan berjangka jauh bersasaran menyiapkan cara penyelesaian persoalan-persoalan yang di duga akan muncul kemudian sebagai konsekuensi penggunaan lahan rawa pasang surut selama masa panjang. Untuk ini digunakan rancangan penelitian proaktif.
Tujuan akhir pengembangan lahan rawa pasang surut adalah merancang sistem pengelolaan bagi tujuan pertanian yang produktif dan berkelanjutan untuk kelas harkat lahan masing-masing. Produktivitas dan keterlanjutan ditetapkan menurut sudut pandang usaha tani, terutama untuk pertanaman pangan dan hortikultura, dan menurut sudut pandang perusahaan, terutama untuk pertanaman industry. Sudut pandang usaha tani sekaligus berguna merancang sistem pemukiman masyarakat pedesaan yang mapan.
Tujuan jangka dekat melibatkan penelitian
1. Tata air makro (sekesatuan hidrologi) dan mikro (sekesatuan pengusahaan)
2. Perubahan sifat fisik, kimia dan biolog substrat organik (gambut) dan substrat mineral dalam kaitannya dengan tata air.
3. Adaptasi berbagai jenis tanaman pada keadaan lahan dan kelenturan adaptasinya mengikuti perubahan sifat fisik, kimia dan biologi substrat.
Tujuan jangka jauh melibatkan penelitian
1. Reaksi fisik, kimia dan biologi yang berlangsung dalam substrat organik dan mineral berkenaan dengan penggunaan lahan.
2. Arah perubahan keadaan lahan yang disebabkan oleh reaksi fisik, kimia dan biologi, dan akibatnya atas harkat lahan.
3. Upaya konservasi produktifitas lahan
Tujuan akhir melibatkan penelitian menetapkan luasan ekonomi optimum lahan usaha, baik berskala usaha tani maupun berskala perusahaan, berdasarkan saling nasabah (interrelationships) antara komponen-komponen :
1. Kelas harkat lahan
2. Macam dan sistem pertanaman
3. Sistem pengelolaan lahan, baik makro maupun mikro
4. Keterjangkauan lahan berkenaan dengan penyediaan sarana produksi dan pemasaran