Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan Ilmu Hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti dari pada fenomenologi.
Baca juga: Deskripsi dan Klasifikasi Pohon Beringin
Baca juga: Deskripsi dan Klasifikasi Pohon Beringin
Secara harfiah, fenomenologi fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme suku melihat suatu gejala tertentu dengan ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori.
Manusia menumpukkan dirinya sebagai hal yang transenden (menonjolkan hal yang bersifat kerohanian), sintesa (paduan) dan obyek dan subyek. Manusia sebagai entri quman de (mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengkonstitusi alamnya untuk melihat suatu hal. Manusia harus mengkonversikan mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang ingin dilihat.
Salah seorang tokoh fenomenologi adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori ilmu "zuruck zu den sachen seibst", kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap obyek memiliki hakikat, dan itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemology, psikologi, antropologi dan studi-studi keagamaaan (kajian atas Kitab Suci).
Fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak. Fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur – hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. berusaha membangun dan menuju perkembangan analisis dari fenomena menjadi lebih baik.
Suatu fenomena bukanlah suatu yang statis,arti suatu fenomena tergantung pada sejarahnya. Wawasan utama fenomenologi adalah “pengertian dan penjelasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam perkembangannya, fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edid etik dalam linguistik; (b) fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan, penyaringan untuk menentukan keberadaan, danpenggambaran gejala; (c) fenomenologi transendental; (d) fenomenologi eksistensial. Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas ditekankan. Kesadaran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat penting. Bagi fenomenologi eksistensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata tergantung individu. Refleksi individual menjadi “guru” bagi individu itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran.
Pada masa sebelum ada cara berpikir fenomenologis, cara berpikir manusia dibagi dua kutup yang berlawanan 180 derajat yaitu: idealisme dan realisme. Kaum penganut idealisme menilai benda-benda maupun peristiwa yang terjadi disekitarnya berdasarkan ide-ide yang dikembangkan dalam pikirannya. Kemudian ide-ide ini membentuk semacam “frame of reference” yang secara subjektif dipahami sebagai kebenaran.
Dalam memandang dunia sekitarnya seorang idealist akan memakai acuan “frame of reference” yang merupakan ide-ide dalam pikirannya. Oleh karena itu seorang idealist biasanya juga sangat subjektif dalam menilai dunia sekitarnya. Sumbangan idealisme ke dunia adalah adanya penemuan-penemuan baru, ide-ide baru, karya besar di bidang sastra, dll. Sedangkan kebalikannya kaum penganut realisme, melihat benda-benda maupun sesuatu peristiwa yang ada sesuai dengan keadaan nyata benda tersebut yang secara nyata bisa diraba, diukur atau punyai nilai tertentu. Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa benda itu nyata dan punya nilai atau ukuran tertentu maka benda itu tidak pernah ada. Oleh karena itu penganut realisme cenderung kepada atheisme yang tidak percaya adanya Tuhan karena Tuhan tidak bisa dilihat secara nyata.
Realisme sangat berpengaruh di Eropa pada masa revolusi industri dan sumbangannya kedunia adalah kemajuan “science & technology”. Pada sekitar awal abad ke 20, walaupun revolusi industri terus bergerak, beberapa filsuf di Eropa seperti Edmund Hursell (1859 - 1938) mulai meragukan kehandalan cara berpikir realisme yang seolah-olah tidak ada satupun dialam ini yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan alam. Apapun yang telah .ditemukan, persoalan-persoalan dasar manusia tidak pernah bisa diselesaikan. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan alam.
Fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak. Fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur – hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. berusaha membangun dan menuju perkembangan analisis dari fenomena menjadi lebih baik.
Suatu fenomena bukanlah suatu yang statis,arti suatu fenomena tergantung pada sejarahnya. Wawasan utama fenomenologi adalah “pengertian dan penjelasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam perkembangannya, fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edid etik dalam linguistik; (b) fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan, penyaringan untuk menentukan keberadaan, danpenggambaran gejala; (c) fenomenologi transendental; (d) fenomenologi eksistensial. Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas ditekankan. Kesadaran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat penting. Bagi fenomenologi eksistensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata tergantung individu. Refleksi individual menjadi “guru” bagi individu itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran.
Pada masa sebelum ada cara berpikir fenomenologis, cara berpikir manusia dibagi dua kutup yang berlawanan 180 derajat yaitu: idealisme dan realisme. Kaum penganut idealisme menilai benda-benda maupun peristiwa yang terjadi disekitarnya berdasarkan ide-ide yang dikembangkan dalam pikirannya. Kemudian ide-ide ini membentuk semacam “frame of reference” yang secara subjektif dipahami sebagai kebenaran.
Dalam memandang dunia sekitarnya seorang idealist akan memakai acuan “frame of reference” yang merupakan ide-ide dalam pikirannya. Oleh karena itu seorang idealist biasanya juga sangat subjektif dalam menilai dunia sekitarnya. Sumbangan idealisme ke dunia adalah adanya penemuan-penemuan baru, ide-ide baru, karya besar di bidang sastra, dll. Sedangkan kebalikannya kaum penganut realisme, melihat benda-benda maupun sesuatu peristiwa yang ada sesuai dengan keadaan nyata benda tersebut yang secara nyata bisa diraba, diukur atau punyai nilai tertentu. Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa benda itu nyata dan punya nilai atau ukuran tertentu maka benda itu tidak pernah ada. Oleh karena itu penganut realisme cenderung kepada atheisme yang tidak percaya adanya Tuhan karena Tuhan tidak bisa dilihat secara nyata.
Realisme sangat berpengaruh di Eropa pada masa revolusi industri dan sumbangannya kedunia adalah kemajuan “science & technology”. Pada sekitar awal abad ke 20, walaupun revolusi industri terus bergerak, beberapa filsuf di Eropa seperti Edmund Hursell (1859 - 1938) mulai meragukan kehandalan cara berpikir realisme yang seolah-olah tidak ada satupun dialam ini yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan alam. Apapun yang telah .ditemukan, persoalan-persoalan dasar manusia tidak pernah bisa diselesaikan. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan alam.