Inilah 6 Dasar Hukum Asuransi Syariah dalam Islam
Dasar Hukum Asuransi Syariah - Dasar hukum asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan hukum praktik asuransi syariah.
Karena sejak awal asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul, serta pendapat Ulama atau Fuqaha yang tertuang dalam karya-karyanya.
1. Al-Qur’an
Ayat al-Qur’an yang mempunyai nilai praktik asuransi, antara lain :
- Perintah Allah SWT untuk saling tolong-menolong dan bekerjasama
Surat al-Maidah (5) : 2
Artinya : “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya”.
Ayat al-Maidah ini memuat perintah tolong-menolong antar sesama manusia. Dalam bisnis asuransi, ini terlihat dalam praktik kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial (tabarru’).
Surat al-Baqarah (2) : 185
Artinya : “… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”.
Ayat di atas menerangkan bahwa kemudahan adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya, dan sebaliknya kesukaran adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh-Nya. Maka manusia dituntut oleh Allah agar tidak mempersulit dirinya sendiri dalam menjalankan bisnis, untuk itu bisnis asuransi merupakan sebuah progam untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupan di masa mendatang.
- Perintah Allah untuk mempersiapkan hari depan
Surat al-Hasyr (59) : 18
Artinya : “Wahai Orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertaqwalah kepada Allah.Sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan”.
- Perintah Allah untuk saling melindungi dalam keadaan susah
Surat Quraisy (106) : 4
Artinya : “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan”.
Surat al-Baqarah (2) : 126
Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdo’a, “Ya Tuhanku Jadikanlah (negeri Mekkah) ini negeri yang aman sentosa”.
Dengan Surat al-Baqarah (2) : 126, Allah SWT menegaskan bahwa orang yang rela menafkahkan hartanya akan dibalas oleh-Nya dengan melipat gandakan pahalanya. Sebuah anjuran normatif untuk saling berderma dan melakukan kegiatan sosial yang diridhai oleh Allah SWT.
2. Sunnah Nabi SAW
Al-Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang kedua. Al-sunnah berarti jalan yang menjadi kebiasaan dalam melaksanakan ajaran agama atau suatu gambaran amal perbuatan yang sesuai dengan teladan Nabi dan para sahabat, dengan tuntunan al-Qur’an.
- Hadits tentang Aqilah.
Dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah saw, maka Rasulullah saw memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua lakilaki)”. (HR. Bukhari)
- Hadits tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang.
bersabda: Barangsiapa yang menghilangkan kesulitan duniawinya seorang mukmin, maka Allah SWT akan menghilangkan kesulitanya pada hari kiamat. Barangsiapa yang mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah SWT akan mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat”. (HR. Muslim)
- Hadits tentang menghindari risiko.
Artinya : “Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bertanya seseorang kepada Rasulullah saw, tentang (untanya) :”Apa (unta) ini saya ikat saja atau langsung saya bertawakal pada Allah SWT. “Bersabda Rasulullah saw. : pertama ikatlah unta itu kemudian bertaqwalah kepada Allah SWT. (HR. at-Tirmizi).
3. Ijtihad
Praktik sahabat dalam pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah dilaksanakan oleh khalifah kedua yaitu Umar bin Khattab. Beliau berkata: “Orang-orang yang namanya tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak sengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat”. Dimana Umar adalah orang yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk menyiapkan daftar tersebut, dan orang yang terdaftar diwajibkan saling menanggung beban.
4. Ijmak
Ijmak yaitu kesepakatan para mujtahid atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa yang terjadi setelah Rasul wafat. Para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam hal aqilah yang dilakukan oleh Umar bin Khattab adanya ijmak atau kesepakatan ini tampak dengan tidak adanya sahabat lain yang menentang pelaksanaan aqilah ini. Aqilah adalah iuran dana yang dilakukan oleh keluarga dari pihak laki-laki (asabah) dari si pembunuh (orang yang menyebabkan kematian secara tidak sewenangwenang).
Dalam hal ini, kelompoklah yang menanggung pembayarannya, karena si pembunuh merupakan anggota dari kelompok tersebut dengan tidak adanya sahabat yang menentang khalifah Umar bisa disimpulkan bahwa terdapat ijma dikalangan sahabat Nabi saw mengenai persoalan ini.
5. Qiyas
Qiyas adalah metode ijtihad dengan jalan menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan kasus lain yang hukumnya disebut dalam al-Qur’an dan as-Sunnah karena persamaan illat (penyebab atau alasannya).
Dalam kitab Fath Al Bari, disebutkan bahwa dengan datangnya Islam sistem aqilah diterima oleh Rasulullah saw menjadi bagian dari hukum Islam. Ide pokok dari aqilah adalah suku Arab zaman dulu yang harus siap untuk melakukan kontribusi finansial atas nama si pembunuh, untuk membayar ahli waris korban kesiapan untuk membayar kontribusi keuangan ini sama dengan pembayaran premi ide praktik asuransi syariah ini.
Dalam hal ini praktik yang mempunyai nilai sama dengan asuransi adalah praktik aqilah. Aqilah adalah iuran darah yang dilakukan oleh keluarga dari pihak laki-laki si pembunuh.
6. Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik sesuatu. Menurut istilah menurut ulama ushul adalah beralihnya pemikiran seseorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang nyata kepada qiyas yang samar atau dari hukum umum kepada perkecualian karena ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu. Seperti halnya kebaikan dari kebiasaan aqilah di kalangan Arab kuno yang terletak pada kenyataan bahwa ia dapat menggantikan balas dendam berdarah.
Muslehuddin mengatakan manfaat signifikasi dari praktik aqilah tersebut adalah :
- Mempertahankan keseimbangan kesukuan dan dengan demikian, kekuatan pembalasan dendam dari setiap suku dapat menghalangi kekejaman anggota suku lain.
- Menambah sebagian besar jaminan sosial, karena mengingat tanggung jawab kolektif untuk membayar ganti rugi, suku harus menjaga seluruh kegiatan anggota sesamanya.
- Mengurangi beban anggota perorangan jika ia diharuskan membayar ganti rugi.
- Menghindarkan dendam darah yang mengakibatkan kehancuran total.
- Mempertahankan sepenuhnya kesatuan darah dan kerjasama para anggota dari setiap suku, yang tak lain merupakan mutualitas (saling membantu).