Bagaimana Upaya Meminimalisasi Budaya Korupsi
Oleh: Nanang Martono
Untuk menghentikan budaya korupsi, perlu peran serta masyarakat. Akan tetapi, masyarakat secara umum, seolah tidak mempunyai kekuatan untuk mengontrol kinerja pemerintah dan aparatnya. Untuk itu, langkah yang perlu dilakukan adalah:
Pertama, meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat, kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Menumbuhkan kesadaran merupakan sebuah proses panjang, tentu saja hasilnya juga tidak dapat dicapai dalam waktu singkat. Masyarakat yang sadar hukum, bisa berfungsi sebagai sarana kontrol terhadap kebijakan publik dan implementasinya di lapangan. Sebenarnya, kontrol publik inilah yang sangat penting untuk meminimalisasi budaya korupsi. Untuk menguatkan kontrol publik, perlu diimbangi dengan pengadaan saluran terbuka bagi masyarakat, sehingga, masyarakat yang menemukan indikasi korupsi, dapat melaporkan secara langsung pada pihak yang berwenang.
Kedua, aspek korupsi yang menjadi imbas mentalitas budaya, maka yang harus dilakukan adalah pembenahan moral generasi muda. Generasi muda adalah aset paling mahal bagi sebuah negara. Pembentukan moral bangsa, juga menjadi pekerjaan rumah semua komponen bangsa tanpa kecuali, bukan hanya lembaga agama maupun lembaga pendidikan.
Ketiga, sistem reward and punishment harus dilakukan, terutama pemberian reward bagi pegawai atau warga negara yang “bersih” atau ikut berperan serta dalam penegakkan hukum. Di Indonesia, sangat banyak program pemberian reward atau penghargaan, mulai dari film terbaik, penyanyi terbaik, model terbaik, televisi terbaik dan sebagainya. Namun jarang ada program yang memberikan penghargaan bagi warga masyarakat yang dikenal “bersih” atau bebas korupsi oleh warga yang lain, sehingga ia layak menjadi panutan. Sebagaimana kita ketahui, di era sekarang bangsa kita sangat mengharapkan seorang public figure yang bersih. Masyarakat lebih mengenal artis atau selebritis daripada mengenal Baharudin Lopa atau Munir. Sistem punishment yang diterapkan, menurut saya, terlalu ringan untuk “kelas” koruptor. Bila kita mengikuti ajaran Islam, seorang koruptor harus menjalani hukuman yaitu dipotong tangannya.
Keempat, harus ada pengalokasian anggaran yang lebih efisien dan rasional untuk meminimalisasi pemborosan anggaran belanja negara. Selama ini, alokasi anggaran terlalu berlebihan. Beberapa waktu yang lalu, kita bisa melihat ulah anggota DPR yang sempat menganggarkan biaya pengadaan laptop sebesar 20 jutaan (?). Padahal, di pasaran, harga laptop yang sederhana, harganya berkisar 5 jutaan sampai 10 jutaan. Lalu, akan digunakan untuk apa dana sisa sebesar 10 juta per kepala? Atau akan digunakan untuk apa laptop dengan harga 20 jutaan, padahal mereka hanya bekerja selama 5 tahun? Selain itu, tunjangan yang diterima anggota DPR juga sangat tidak rasional.
Kelima, berkaitan upaya di atas, harus didukung dengan akuntabilitas pemegang kekuasaan yang tinggi. Mereka harus dapat mempertanggung-jawabkan apa yang telah mereka lakukan disertai dengan bukti yang kongkrit.
Keenam, harus ditegakkan prinsip “the right man on the right place” dalamsetiap organisasi publik/pemerintah. Individu yang memegang suatu jabatan harus benar-benar menguasai apa yang harus mereka lakukan, sehingga, seorang atasan tidak bisa ditipu oleh bawahannya, sehingga “kucing harus lebih pandai daripada tikusnya” bukan sebaliknya. Untuk mewujudkan upaya ini, sebaiknya dilakukan uji kelayakan bagi calon pemegang jabatan di semua tingkat. Hal ini juga dimaksudkan agar pemegang pimpinan sebuah organisasi tidak mudah ditipu bawahannya.