Pengertian Puasa Menurut Bahasa dan Istilah [Materi Lengkap]
Pengertian Puasa Menurut Bahasa dan Istilah
Menurut bahasa puasa berarti “menahan diri”.Menurut syara’ ialah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkanya dari mula terbit fajar hingga terbenam matahari, karena perintah Allah sematamata, serta disertai niat dan syarat-syarat tertentu.
Sedangkan arti shaum menurut istilah syariat adalah menahan diri pada siang hari dari hal-hal yang membatalkan puasa, disertai niat oleh pelakunya, sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Artinya , puasa adalah penahanan diri dari syahwat perut dan syahwat kemaluan, serta dari segala benda konkret yang memasuki rongga dalam tubuh ( seperti obat dan sejenisnya), dalam rentang waktu tertentu yaitu sejak terbitnya fajar kedua (yaitu fajar shadiq) sampai terbenamnya matahari yang dilakukan oleh orang tertentu yang dilakukan orang tertentu yngmemenuhi syarat yaitu beragama islam, berakal, dan tidak sedang dalam haid dan nifas, disertai niat yaitu kehendak hati untuk melakukan perbuatan secara pasti tanpa ada kebimbangan , agar ibadah berbeda dari kebiasaan.
Demi zat yang jiwa Muhammad berada dalam genggamannya sesungguhnya bau tidak sedap orang yang berpuasa menurut Allah lebih wangi menurut Allah pada hari kiamat daripada minyak misik. Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan:
1. Apabila berbuka dia bergembira dengan berbukanya
2. Apabila bertemu tuhannya ia bergembira dengan puasanya.
Ketentuan yang mewajibkan puasa ini adalah sebagaimana firman allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183.
Artinya: “Wahai orang-orang Yang beriman! Kamu Diwajibkan berpuasa sebagaimana Diwajibkan atas orang-orang Yang dahulu daripada kamu, supaya kamu bertaqwa4”
Rukun dan Syarat Puasa
Puasa terdiri dari dua rukun.Dari dua rukun inilah hakikat puasa terwujud. Dua rukun tersebut adalah sebagai berikut:
a) Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t “maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan ) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 187.
Artinya: “Dihalalkan bagikamu, pada malam hari puasa, bercampur (bersetubuh) Dengan isteri-isteri kamu. isteri-isteri kamu itu adalah sebagai pakaian bagi kamu dan kamu pula sebagai pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahawasanya kamu mengkhianati diri sendiri, lalu ia menerima taubat kamu dan memaafkankamu. Maka sekarang setubuhilah isteri-isteri kamu dan carilah apa-apa Yang telah ditetapkan oleh Allah bagikamu; dan makanlah serta minumlah sehingga nyata kepada kamu benang putih (cahayasiang) dari benang hitam kegelapan malam), Iaitu waktu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sehingga waktu malam ( maghrib); dan janganlah kamu setubuhi isteri-isteri kamu ketika kamu sedang beriktikaf di masjid. Itulahbatas-bataslarangan Allah, makajanganlahkamumenghampirinya.demikian Allah menerangkanayatayathukumNyakepadasekalianmanusiasupayamerekabertaqwa. ”
b) Niat
Dasar diwajibkannya niat adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Bayyinah ayat 5.
Artinya: “padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah Dengan mengikhlaskan Ibadat kepadaNya, lagi tetap teguh di atas tauhid; dan supaya mereka mendirikan sembahyang serta memberi zakat. dan Yang demikian itulah ugama Yang benar.”
Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
Adapun yang membatalkan puasa adalah sebagaimana yang dikemukakan Zakariya al Ansariy dalam kitabnya as- Syarqawiy sebagai
berikut:
ﺟﻮﻓﮫ وﻟﻮ )ﻣﻦ ﻣﻨﻔﺬ (وھﻮ وﺻﻮل ﻋﯿﻦ )وان ﻋﻠﻢ ﺑﻌﻀﮫ ﻣﻤﺎ ﻣﺮ .اﻟﺼﻮمﺑﺎب ﻣﺎ ﯾﻔﺴﺪ واﺳﺘﻘﺎءة ﻣﻦ زﯾﺎدﺗﻰ وان ﺗﯿﻘﻦ أﻧﮫ ﻟﻤﯿﻌﺪ ....(ﺑﺤﻘﻨﺔ أو ﻣﺎء ﻣﻀﻤﻀﺔ او اﺳﺘﻨﺸﺎق ﺑﻤﻨﺎﻟﻐﺔ ﻟﻤﻨﻰ ﺑﻠﻤﺲ ﺑﺸﺮ ة ﺑﺸﮭﻮة ﻛﺎﻟﻮ طء ﺑﻼ اﻧﺰال ﺑﻞ أو (واﻧﺰل)ﻣﻦ اﻟﻘﻲ ﺷﻰء اﻟﻰ اﻟﺠﻮف ﺑﻼ ﺷﮭﻮة أو ﺿﻢ اﻣﺮأة اﻟﻰ ﻧﻔﺴﮫ ﺑﺤﺎﻧﻞ ﻓﻼ أو ﻟﻤﻲ (اﻻﻓﻰ ﻧﻮم أو ﺑﻨﻄﺮ أو ﻓﻜﺮ )ﻟﻰ ﻛﻠﮫ (ﻣﻊ ﺗﻌﻤﺪ ذﻟﻚ )ﺒﻞ أو دﺑﺮ ﻗ (ووطء ﻓﻲ ﻓﺮج) ....ﯾﻔﺴﺪ اﻻﻧﺰ ﺑﺸﻲء ﻣﻨﮭﺎ اﻟﺼﻮم .واﺧﺘﯿﺎره وﻋﻠﻢ ﺑﺘﺤﺮﯾﻤﮫ)
Artinya: Bab pada menerangkan sesuatu yang membatalkan puasa, sekalipun sebahagiannya telah diketahui dari keterangan yang telah lalu, yaitu memasukkan benda dari lubang kerongkongan , walaupun dengan injeksi atau air kumur-kumur atau air yang dimasukkan ke hidung dengan cara yang bersangatan. Dan muntah, sebagai tambahanku, sekalipun dia yakin muntah itu tidak kembali dalam kerongkongan, dan mengeluarkan mani, dengan menyentuh kulit dengan bersyahwat, seperti wati’ yang tidak keluar mani kecuali pada saat tidur atau penglihatan atau memikir-mikir atau menyentuh dengan syahwat atau merangkul isteri kepada suaminya dengan lapis, maka tidaklah membatan wati’lkan puasa keluarnya mani dengan salah satu cara yang demikian. Dan wati’ pada faraj baik qubul atau dubul dengan sengaja dan dengan kehendaknya , serta dia mengetahui hukumnya haram.
Rukhshah dalam Berpuasa
Meskipun ibadat puasa Ramadhan merupakan kewajiban yang mesti dilakukan oleh kaum muslimin yang telah memenuhi syaratnya, namun karena syariat itu sendiri merupakan pedoman hidup bagi manusia, tentu di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan yang semata-mata untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.
Dengan demikian suatu perintah yang wajib tetap suatu kewajiban. Namun dalam perlaksanaannya dapat dialihkan kepada yang lain disebabkan terdapat kesulitan yangmembawa mudarat kepada pelakunya.
Demikian juga halnya dengan kewajiban ibadah puasa Ramadhan. Bagi kaum muslimin yang memenuhi syarat wajib puasa , syariat memberikan ketentuan bahwa diperbolehkan bagi mereka berbuka puasa Ramadhan dengan alasan–alasan atau sebab-sebab tertentu.
Adapun sebab-sebab boleh meninggalkan ibadah puasa Ramadhan adalah sebagaimana berikut:
1). Orang sakit
Orang yang ditimpa sakit dibolehkan untuk tidak berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT , dalam surat al-Baqarah ayat 184 sebagai berikut:
Artinya: “... maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan ( lalu berbuka ), maka (wajiblah baginya puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari yang lain.”
Ayat diatas memberikan pemahaman bahwa bagi orang yang sakit dibolehkan untuk berbuka atau meningalkan puasa Ramadhan, sekalipun penyakitnya tidak parah, sebab pada keumunan ayat tersebut yang tertulis al Marid atau sakit. Namun para ulama’ memberikan batasan sakit yang diperbolehkan untuk meninggalkan puasa.
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid sabiq sebagai berikut:
.واﻟﻤﺮض اﻟﻤﺒﯿﺢ ﻟﻠﻔﻄﺮ ھﻮ اﻟﻤﺮض اﻟﺸﺪﯾﺪ اﻟﺬى ﯾﺰﯾﺪ ﺑﺎﻟﺼﻮم او ﯾﺨﺸﻰ ﺗﺄﺧﺮ ﺑﺮ ﻧﮫ Artinya: “dan orang sakit yang boleh berbuka puasa adalah orang yang sakitnya bersangatan, yang apabila berpuasa akan bertambah penyakitnya atau ada kekhawatiran akan lambat sembuhnya”
Pada bahagian lain Sayyid Sabiq menambahkan bahwa orang sakit yang tidak diharapkan lagi sembuhnya diperbolehkan berbuka puasa. Pada bahagian ini Sayyid Sabiq menambahkan bahwa orang sakit yang tidak diharapkan lagi sembuhnya diperbolehkan berbuka puasa.
Dari penjelasan diatas dapat difahami bahwa ada tiga kategori orang sakit yang diperbolehkan untuk berbuka atau meninggalkan puasa iaitu, orang sakit yang apabila berbuka akan bertambah penyakitnya, atau dikhawatirkan akan lambat sembuhnya, dan orang sakit yang tidak diharapkan lagi sembuhnya.
2). Orang musafir
Orang yang melakukan perjalanan (musafir), oleh syara’ diberikan rukhsah (keringanan) untuk berbuka puasa . kebolehan berbuka puasa bagi musafir tersebut ditegaskan oleh Allah dalam al-Quran surat alBaqarah ayat 185 yang mana berbunyi:
Artinya: “..... maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain....”
Seperti halnya orang sakit, bagi musafir pun diberi juga batasan dalam kebolehan untuk berbuka puasa .Jumhur ulama’ berpendapat bahwa bagi musafir yang dibolehkan berbuka puasa itu ada dua syarat.
Pertama, safar (perjalanan) tersebut menempuh jarak yang diperbolehkan untuk meng-qasar salat dan yang kedua safar yang dimulai sebelum terbit fajar. Ulama Hanabilah khusunya Ibnu Qaddamah berpendapat bahwa safar yang dimulai pada siang hari (setelah terbit fajar), walaupun setelah tergelincir matahari, dibolehkan untuk berbuka puasa. Dan ulama Syafi’iyah khususnya An-Nawawi menambahkan syarat ketiga yaitu tidak bagi musafir yang melakukan safar secara terus-menerus.
3. Orang tua yang lemah.
Orang yanglanjut usia tidak mampu melaksanakan puasa Ramadhan kerana fisiknya sudah lemah. Oleh karena itu, kepada mereka diperbolehkan meninggalkan puasa Ramadhan.
Hal ini sebagaimana dikemukakan Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh as Sunah sebagai berikut:
ﯾﺮ ﺧﺺ اﻟﻔﻄﺮى ﻟﻠﺸﯿﺦ اﻟﻜﺒﯿﺮ واﻟﻤﺮاة اﻟﻌﺠﻮز
Artinya: “diberikan keringanan untuk berbuka puasa bagi orang yang sudah tua dan perempuan yang tua”14
Berdasarkan kutipan diatas dapat difahami bahwa bagi orang yang sudah lanjut usia dibolehkan untuk berbuka atau meninggalkan puasa Ramadhan, sebab pada umumnya mereka telah lelah atau sudah tidak sanggup lagi berpuasa.
4. Orang yang bekerja berat.
Terhadap mereka ini juga diperbolehkan untuk berbuka atau meninggalkan puasa Ramadhan, karena akibat dari pekerjaan yang mereka lakukan memungkinkan lemah fisik.Sehingga memberatkan bagi mereka untuk berpuasa berakibat tidak biasa bekerja sebagaimana biasa.
5. Wanita Hamil Yang Menyusui.
Keadaan wanita hamil yang menyusui menjadi salah satu sebab diperbolehkan meninggalkan puasa Ramadhan, apabila keduanya khawatir atau takut akan membahayakan kepada dirinya, anak, atau diri dan anak secara bersamaan akibat dari puasa keduanya.
Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh ibnu Majah sebagaimana berikut:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ھﺸﺎم ﺑﻦ ﻋﻤﺎر اﻟﺪﻣﺸﻘﻰ اﻟﺮﺑﯿﻊ ﺑﻦ ﺑﺪر ﻋﻦ اﻟﺠﺮﯾﺮي ﻋﻦ اﻟﺤﺴﻦ ﻋﻦ اﻧﺲ رﺧﺺ رﺳﻮل ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻟﻠﺠﺒﻠﻰ اﻟﺘﻰ ﺗﺨﺎف ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﮭﺎ أن ﺗﻔﻄﺮ :ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎل وﻟﻠﻤﺮ ﺿﻊ اﻟﺘﻰ ﺗﺨﺎف ﻋﻠﻰ وﻟﺪھﺎ Artinya: “telah memberitahu kepada kami Hisyan Ibn Ammar ad
Dimasqiy, dari Hasan, dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah SAW. Memberi keringanan kepada wanita hamil yang khawatir akan dirinya boleh berbuka, dan bagi wanita yang menyusui yang khawatir terhadap anaknya.”
Dari hadis diatas dapat difahami bahwa wanita hamil dan menyusui yang menyusui yang mempunyai kekhawatiran akan keselamatan diri, anak, atau diri dan anak, maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka.
Dalil yang Membolehkan Makan, Minum dan Bersetubuh Di Malam Hari Ramadhan
Pada malam hari dari terbenam matahari sehingga terbit fajar, dibolehkan kita makan, minum, dan bersetubuh, sebagaimana yang ditegaskan oleh firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat186-187.
Artinya: dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu mengenai Aku maka (beritahu kepada mereka): Sesungguhnya Aku (Allah) sentiasa hampir (kepada mereka); Aku perkenankan permohonan orang Yang berdoa apabila ia berdoa kepadaKu. maka hendaklah mereka menyahut seruanku (dengan mematuhi perintahKu), dan hendaklah mereka beriman kepadaKu supaya mereka menjadi baik serta betul. Dihalalkan bagi kamu, pada malam hari puasa, bercampur (bersetubuh) Dengan isteri-isteri kamu. isteri-isteri kamu itu adalah sebagai pakaian bagi kamu dan kamu pula sebagai pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahawasanya kamu mengkhianati diri sendiri, lalu ia menerima taubat kamu dan memaafkan kamu. maka sekarang setubuhilah isteri-isteri kamu dan carilah apa-apa Yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kamu; dan makanlah serta minumlah sehingga nyata kepada kamu benang putih (cahaya siang) dari benang hitam kegelapan malam), Iaitu waktu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sehingga waktu malam (maghrib); dan janganlah kamu setubuhi ist ri-isteri kamu ketika kamu sedang beriktikaf di masjid. itulah batas-batas larangan Allah, maka janganlah kamu menghampirinya. demikian Allah menerangkan ayat-ayat hukumNya kepada sekalian manusia supaya mereka bertaqwa.
Allah swt menurunkan ayat ini untuk membolehkan perkara-perkara yang tidak diperbolehkan mula-mulanya. Pada mula-mula puasa difardhukan, tidak dibolehkan bersetubuh di malam –malam puasa , dan tidak boleh makan dan minum di malam hari sesudah tidur di malam hari.
Kafarah
Disini akan dibahas mengenai perkara yang mewajibkan kafarat, hukumnya, dalilnya, macam-macamnya, dan bertambah banyaknya.
1. Perkara yang mewajibkannya.
Yaitu pembatalan puasa secara sengaja atas atas kehendak sendiri, karena itu bererti melanggar kesucian puasa tanpa ada uzur yang membolehkan untuk berbuka. Jadi, tidak ada kafarat atas orang yang membatalkan puasa tanpa ada uzur yang membolehkan untuk berbuka.
Jadi tidak ada kafarat atas orang yang membatalkan puasa atas qadha puasa Ramadhan menurut jumhur, juga tidak ada kafarat atas orang yang lupa maupun dipaksa, tidak wajib kafarat lantaran berciuman, juga tidak wajib atas wanita yang haid atau nifas, orang haid, atau orang gila, serta orang pengsan. Karena batalnya puasa mereka bukan terjadi kerana ulah mereka. Juga, tidak wajib kafarat atas orang sakit, musafir, orang yang sangat kelaparan atau kehausan, dan wanita hamil sebab mereka punya uzur, juga tidak punya kafarat atas orang murtad sebab dia melanggar kesucian Islam , bukan hanya kesucian puasa.
Sebelumnya telah dibahas kondisi-kondisi yang mewajibkan kafarat menurut pelbagai mazhab, yang terpenting adalah Jima’(disepakati semua mazhab) dan membatalkan puasa secara sengaja dengan makan dan sejenisnya ( menurut pendapat Hanafi dan Maliki).
2. Hukum kafarat
Hukum kafarat adalah wajib akibat batalnya puasa Ramadhan saja, bukan puasa yang lainnya, jika dia membatalkan puasa Ramadhannya (menurut mazhab hanafi dan Maliki) sambil melanggar kesuciannya (yakni tidak peduli akan kesuciannya).
Dengan kata lain, dia sengaja membatalkan kesuciannya atas kemauan sendiri, tanpa ada takwil yang dekat, sebagaimana diungkapkan oleh mazhab Maliki- (sehingga tidak termasuk dalam katogori ini orang yang lupa, orang yang tidak tahu, dan orang yang punya takwil yang dekat, mereka tidak wajib membayar kafarat sebagaimana yang dijelaskan), dan batalnya puasa itu akibat jima’ dan sejenisnya, juga akibat makan dan sejenisnya menurut mazhab Hanafi dan Maliki.
Untuk waijbnya kafarat itu, mazhab Syafi’i menetapkan bahwa pelaku Jima’ itu harus dalam keadaan ingat bahwa dirinya sedang puasa, tahu keharamannya, tidak bermaksud mengambil rukhsah perjalanan atau sakit. Jadi orang yang berjima’ karena lupa atau tidak tahu keharamannya, atau dia merusak puasa selain puasa Ramadhan, dia membatalkan puasanya sengaja dengan melakukan perbuatan selain jima’, atau dia adalah musafir, maka tidak ada kafarat atasnya, melainkan dia wajib mengqada saja.
Jima’
Defini Jima' Al-Jima secara bahasa ialah berkumpul dalam satu himpunan.Al-Mujama'ah ialah Al-Mubadla'ah artinya bersenggama.Menurut 'urf, jima ialah memasukkan dz4kar laki-laki kepada f4raj wanita walaupun hanya bagian kepala dz4kar (hasyafah).Hal ini untuk memberi gambaran bahwa mereka telah jima'.
Adapun yang dilakukan antara pria dan wanita sebelum Jima' terbagi dua bagian:
a. Jima' yang halal dan berpahala shadaqah,yaitu jima 'suami kepada istrinya atau hamba sahayanya. Sebagaimana disebutkan dalam surat alMu’minun ayat 5-7.
Maksudnya: dan mereka Yang menjaga kehormatannya, kecuali kepada isterinya atau hamba sahayanya maka Sesungguhnya mereka tidak tercela. Kemudian, sesiapa Yang mengingini selain dari Yang demikian, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas.
b. Jima' yang haram (perz1n4han) dan termasuk dosa besar yang harus dikenai sanksi, bagi jejaka/gadis melakukan z1n4, termasuk pada prolog jima'.