Pengertian Korupsi dan Cara Pencengahan Korupsi
Pengertian Korupsi
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi adalah masalah dunia. Korupsi mempunyai definisi yang sangat beragam. Kartini, mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi; salah urus terhadap sumber-sumber kekuasaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal untuk memperkaya diri sendiri.
Menurut Klitgaard dkk., korupsi didefinisikan sebagai menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Korupsi berarti memungut uang bagi layanan yuang sudah seharusnya diberikan oleh yang bersangkutan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi juga didefinisikan sebagai tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja. Tindakan korupsi menurut perspektif keadilan atau pendekatan hukum misalnya mengatakan bahwa korupsi adalah mengambil bagian yang bukan menjadi haknya.
Menurut Klitgaard dkk., korupsi didefinisikan sebagai menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Korupsi berarti memungut uang bagi layanan yuang sudah seharusnya diberikan oleh yang bersangkutan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi juga didefinisikan sebagai tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja. Tindakan korupsi menurut perspektif keadilan atau pendekatan hukum misalnya mengatakan bahwa korupsi adalah mengambil bagian yang bukan menjadi haknya.
Korupsi adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri. Perspektif atau pendekatan relatifisme kultural yang strukturalist, bisa saja mengatakan pemaksaan untuk menyeragamkan berbagai pemerintahan lokal, menyebabkan budaya asli setempat tidak berkembang, melemahkan keberadaannya untuk diganti dengan budaya yang dominan milik penguasa adalah tindakan korupsi struktural terhadap persoalan kultural.
Pendekatan atau perspektif orang awam dengan lugas mengatakan menggelapkan uang kantor, menyalahgunakan wewenangnya untuk menerima suap, menikmati gaji buta tanpa bekerja secara serius adalah tindakan korupsi. Termasuk di sini adalah melaporkan penggunaan dana yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Apapun definisinya, korupsi selalu berkaitan dengan penyalahgunaan tugas dan wewenang demi keuntungan pribadi. Dampak korupsi yang sudah sangat akut, bisa menyebabkan kehancuran sebuah negara.
Pencengahan Korupsi
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah.
Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi.
Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi.
Untuk mencegah budaya korupsi, perlu peran serta masyarakat. Akan tetapi, masyarakat secara umum, seolah tidak mempunyai kekuatan untuk mengontrol kinerja pemerintah dan aparatnya. Untuk itu, langkah yang perlu dilakukan adalah:
1. Meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat, kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Menumbuhkan kesadaran merupakan sebuah proses panjang, tentu saja hasilnya juga tidak dapat dicapai dalam waktu singkat. Masyarakat yang sadar hukum, bisa berfungsi sebagai sarana kontrol terhadap kebijakan publik dan implementasinya di lapangan. Sebenarnya, kontrol publik inilah yang sangat penting untuk meminimalisasi budaya korupsi. Untuk menguatkan kontrol publik, perlu diimbangi dengan pengadaan saluran terbuka bagi masyarakat, sehingga, masyarakat yang menemukan indikasi korupsi, dapat melaporkan secara langsung pada pihak yang berwenang.
2. Aspek korupsi yang menjadi imbas mentalitas budaya, maka yang harus dilakukan adalah pembenahan moral generasi muda. Generasi muda adalah aset paling mahal bagi sebuah negara. Pembentukan moral bangsa, juga menjadi pekerjaan rumah semua komponen bangsa tanpa kecuali, bukan hanya lembaga agama maupun lembaga pendidikan.
3. Sistem reward and punishment harus dilakukan, terutama pemberian reward bagi pegawai atau warga negara yang “bersih” atau ikut berperan serta dalam penegakkan hukum. Di Indonesia, sangat banyak program pemberian reward atau penghargaan, mulai dari film terbaik, penyanyi terbaik, model terbaik, televisi terbaik dan sebagainya. Namun jarang ada program yang memberikan penghargaan bagi warga masyarakat yang dikenal “bersih” atau bebas korupsi oleh warga yang lain, sehingga ia layak menjadi panutan. Sebagaimana kita ketahui, di era sekarang bangsa kita sangat mengharapkan seorang public figure yang bersih. Sistem punishment yang diterapkan terlalu ringan untuk “kelas” koruptor. Bila kita mengikuti ajaran Islam, seorang koruptor harus menjalani hukuman yaitu dipotong tangannya.
4. Harus ada pengalokasian anggaran yang lebih efisien dan rasional untuk meminimalisasi pemborosan anggaran belanja negara. Selama ini, alokasi anggaran terlalu berlebihan. Beberapa waktu yang lalu, kita bisa melihat ulah anggota DPR yang sempat menganggarkan biaya pengadaan laptop sebesar 20 jutaan (?). Padahal, di pasaran, harga laptop yang sederhana, harganya berkisar 5 jutaan sampai 10 jutaan. Lalu, akan digunakan untuk apa dana sisa sebesar 10 juta per kepala? Atau akan digunakan untuk apa laptop dengan harga 20 jutaan, padahal mereka hanya bekerja selama 5 tahun? Selain itu, tunjangan yang diterima anggota DPR juga sangat tidak rasional.
5. Berkaitan upaya di atas, harus didukung dengan akuntabilitas pemegang kekuasaan yang tinggi. Mereka harus dapat mempertanggung-jawabkan apa yang telah mereka lakukan disertai dengan bukti yang kongkrit.
6. Harus ditegakkan prinsip “the right man on the right place” dalam setiap organisasi publik/pemerintah. Individu yang memegang suatu jabatan harus benar-benar menguasai apa yang harus mereka lakukan, sehingga, seorang atasan tidak bisa ditipu oleh bawahannya, sehingga “kucing harus lebih pandai daripada tikusnya” bukan sebaliknya. Untuk mewujudkan upaya ini, sebaiknya dilakukan uji kelayakan bagi calon pemegang jabatan di semua tingkat. Hal ini juga dimaksudkan agar pemegang pimpinan sebuah organisasi tidak mudah ditipu bawahannya.
Apakah Korupsi Bermanfaat ?.
Korupsi tidak selamanya buruk. Korupsi adalah fungsional. Menurut Bayley, dengan korupsi masyarakat bisa dengan mudah tanpa k3k3r4s*n mendapat informasi yang diperlukannya mengenai pemerintahan dan administrasi pemerintahan. Ini sangat bermanfaaf pada negara-negara yang memiliki saluran-saluran politik yang tertutup. Korupsi juga bermanfaat sebagai alat untuk meredakan ketegangan yang melumpuhkan antara birokrasi dan politisi, karena dapat membawa kedua belah pihak ini ke dalam jaringan kepentingan pribadi masing-masing. Secara ekonomis, korupsi di tingkat yang lebih tinggi, dapat merupakan salah satu alat untuk mengakumulasi modal.
Manfaat korupsi, menurut Klitgaard bisa ditinjau dari tiga perspektif:
1. Perspektif ekonomi. Pembayaran-pembayaran yang tidak halal, memasukkan sejenis mekanisme pasar. Barang-barang dan jasa, dalam sistem itu, dialokasikan menurut urutan, politik, pemilihan acak ataupun “budi baik”, sedangkan korupsi dapat berperan untuk mengalokasikan barang-barang menurut kesediaan maupun kemampuan membayar. Korupsi, dengan demikian meletakkan barang dan jasa di tangan orang-orang yang berani menilai dengan harga tinggi, sehingga dapat menggunakannya secara efektif.
2. Perspektif politikus. Politisi dapat menggunakan korupsi untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan politik berbagai macam suku, wilayah, elite atau partai- partai, yang pada gilirannya dapat menciptakan suatu keselarasan politik dalam menghadapi otoritas politik yang terpecah. Korupsi, kadang kala juga dianggap sebagai sebuah mekanisme “partisipasi politik” dan pengaruh, terutama oleh minoritas-minoritas etnis dan perusahaan-perusahaan asing. Dengan kata lain, korupsi mempunyai manfaat politik yang penting.
3. Perspektif manajer organisasi. Jika peraturan-peraturan birokratis secara sistematis dalam organisasi menjadi penghalang, organisasi bisa mendapat untung dari korupsi para pegawainya yang bermain di celah peraturan. Sejumlah kecil pegawai menjadi pencuri, menggelapkan uang, membuat laporan fiktif, mendapat uang pelicin, yang secara diam-diam diijinkan oleh atasannya. Ini dikarenakan, untuk mengontrol praktik haram ini memerlukan biaya yang tinggi.