Sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Secara Singkat

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim yang mempunyai tugas sebagai pengayom bagi seluruh umat muslim Indonesia untuk menjawab setiap masalah sosial keagamaan yang sennatiasa timbul dan dihadapi oleh masyarakat. 

Sejarah MUI

Selain itu juga, Majelis Ulama Indonesia merupakan lembaga yang mewakili umat Islam Indonesia bila ada pertemuan-pertemuan ulama-ulama internasional, atau bila ada tamu dari luar negeri yang ingin bertukar pikiran dengan ulama Indonesia. Disisi lain, Majelis Ulama Indonesia adalah sebuah organisasi kemasyarakatan yang bersifat keagamaan dan independen, dalam arti terikat atau menjadi bagian dari pemerintah atau kelompok manapun. 

Selanjutnya, sejarah pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat erat kaitannya dengan peran ulama pada waktu itu.Pada masa revolusi (1945-1949) para ulama menjalankan peranan yang sangat penting dalam aksi mobilisasi masa untuk bertempur melawan Belanda.Banyak diantara para komandan kaum gerilya yang bertempur berasal dari para ulama dari berbagai tingkatan. 

Di bawah sistem demokrasi parlementer yaitu pada masa 1950-1959, peranan politik para ulama menjadi makin penting, karena sebagian besar partai politik berdasarkan keagamaan dan dipimpin oleh para pemuka agama. Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut, para ulama bukan hanya sebagai pemimpin dalam soal keagamaan saja 
tetapi juga dalam soal politik.  

Begitu juga pada masa pemerintahan Soeharto, peranan ulama semakin dibatasi hanya persoalan keagamaan.Bahkan partai politik yang masih berasaskan keagamaan tidak diperbolehkan lagi, sebaliknya seluruh partai politik harus berdasarkan kepada ideologi negara yaitu, Pancasila.Sehingga hal ini telah menghambat para ulama dari kepemimpinan partai politik dan membuat mereka mundur dari kegiatan politik.Mereka pun lebih memilih kembali ke pesantren masing-masing untuk kembali mengajar ilmu agama dan sebagian ada yang mengubah kegiatannya menjadi seorang mubaligh.   

Dengan semakin berkurangnya peranan ulama dalam politik formal, timbulah sebuah gagasan untuk mencari bentuk peranan baru bagi para ulama dalam masyarakat. Gagasan ini bermula pada konferensi para ulama di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) pada tanggal 30 september – 4 oktober 1970 yang mengajukan saran untuk memajukan kesatuan kaum muslimin dalam kegiatan sosial dengan membentuk  sebuah majelis bagi para ulama Indonesia  yang akan diberi tugas untuk memberikan fatwa-fatwa. 

Namun, saran tersebut baru mendapat tanggapan pada tahun 1974 ketika Pusat Dakwah Indonesia (PDII) mengadakan letak nasional bagi juru dakwah muslim Indonesia. Dari pertemuan itu disepakati bahwa pembentukan majelis ulama harus diprakarsai ditingkat daerah. Dan hal ini mendapat dukungan dari presiden Soeharto bertepat pada tanggal 24 mei 1975 mengemukakan alasan bahwa masalah yang dihadapi bangsa tidak dapat deselesaikan tanpa keikutsertaan ulama. 

Sehingga, pada tahun 1975 majelis-majelis daerah telah terbentuk hampir seluruh daerah dari 26 propinsi di Indonesia.  Akhirnya pada masa orde baru desakan untuk membuat semacam majelis ulama nasional nampak sangat jelas.Pada tanggal 1 Juli 1975, pemerintah dengan diwakili Departemen Agama mengumumkan penunjukan sebuah panitia persiapan pembentukan majelis ulama tingkat nasional. 

Panitia itu terdiri dari Jenderal (Purn) H. Sudirman, selaku ketua, dan tiga orang ulama selaku penasihat, yaitu : Dr. Hamka, K.H. Abdullah Syafi’I dan K.H. Syukri Ghazali. Tepat pada tanggal 21-27 Juli 1975/12-18 Rajab 1395, dilangsungkan Muktamar Nasional Ulama. Para peserta terdiri wakil-wakil majelis ulama daerah yang baru dibentuk, para wakil pengurus pusat sepuluh organisasi Islam yang ada di Indonesia, sejumlah ulama bebas (yang tidak mewakili organisasi tertentu) dan empat orang wakil rohaniawan Islam ABRI dan pada akhir Muktamar, tanggal 26 Juli 1975 terbentuk sebuah deklarasi yang ditandatangani oleh 53 peserta, yang mengumumkan terbentuknya MUI sebagai ketua pertama adalah seorang penulis Dr. Hamka. 

Ketika itu ada dua alasan mengapa Hamka menerima baik kedudukan sebagai ketua umum MUI.Pertama, Hamka untuk menghadapi ideology komunis Indonesia, orang harus menggunakan ideologi yang lebih kuat, yakni Islam. Untuk mencapai hal ini, umat Islam seharusnya dapat bekerja sama dengan pemerintah Soeharto, yang juga bersikap antikomunis. Kedua, pemerintah telah senantiasa bersikap tidak percaya terhadap kaum muslimin, betapapun luhur maksud kaum muslimin. Menurut Hamka dengan terbentuknya MUI, maka keadaan demikian akan dapat diperbaiki. Akan tetapi pernyataan Hamka ini, tidak semua orang Islam setuju. Sehingga sejumlah pemuda Islam mendatangi kediaman Hamka dan menurut ia agar menolak pengangkatannya sebagai ketua MUI, tetapi dia tetap kepada keputusannya.  

Sebelum terbentuknya  MUI, sedikitnya telah terjadi tiga peristiwa politik penting di Indonesia. Pertama, pemilihan umum tahun 1971, yang dimenangkan oleh Golkar, telah mengecewakan umat Islam. Apalagi partai Islam terbesar yaitu Masyumi tidak diperkenankan pemerintah untuk dihidupkan kembali, akibat dari pemilu yang kurang sehat itu hanya memperoleh suara 26% dari 360 kursi, sedangkan Golkar mendapat 65% dan ini menjadi pukulan yang amat berat bagi partai-partai Islam. Kedua, pengaruh jumlah partaipartai politik Islam menjadi satu tanpa menyandang sebutan Islam. Ketiga,diajukannya rancangan Undang-undang Perkawinan pada tanggal 31 Juli 1973, yang pasal-pasalnya dianggap bertentangan dengan doktrin-doktrin hukum Islam mengenai perkawinan yang umumnya diterima di Indonesia.  

Demikian peristiwa yang terjadi menjelang terbentuknya Majelis Ulama oleh pemerintah. Dengan mengikuti peristiwa-peristiwa yang mengiringi kemunculan MajelisUlama itu dapat dimaklumi jika kemudian penolakandan kecurigaan menjadi sebab kenapa umat sulit menerima kehadiran majelis tersebut. 

Metode Fatwa MUI 
Dalam ilmu ushul fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih atas jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.Fatwa yang dikemukakan mujtahid atau faqih tidak mesti diikuti oleh orang yang meminta fatwa dan fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat.  Hal ini disebabkan, fatwa seorang mufti atau ulama si suatu tempat bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain di tempat yang sama. Fatwa biasanya cenderung dinamis karena merupakan tanggapan terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa, isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi minimal responsif. 

Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta’, suatu istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasehat.Pihak yang member fatwa disebut mufti, sedangkan pihak yang meminta disebut alMustfti. Peminta Fatwa bisa berupa perorangan, lembaga, ataupun siapa saja yang membutuhkannya. 

Mayoritas ulama ushul mengatakan bahwa mufti boleh saja memfatwakan pendapat mujtahid yang masih hidup, dengan syarat mufti tersebut mengetahui landasan hukum serta jalan pikiran yang diperjuangkan mujtahid tersebut. 

Sejak berdirinya tahun 1975 sampai saat ini, MUI telah banyak mengeluarkan fatwa yang mencakup bidang kehidupan, yaitu ibadah, perkawinan dan keluarga, makanan, kebudayaan, soal hubungan antar agama, ilmu kedokteran, keluarga berencana, gerakan Islam dan lain sebagainya. 

Adapun metode yang digunakan oleh MUI dalam menetapkan fatwanya, seperti yang tercantum dalam dasar2 umum penetapan fatwa adalah sebagai berikut:  
a. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabbarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat. 
b. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’, Qiyas, yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti Ihtisan, Maslahah Mursalah, dan sad az-Zariah. 
c. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat. 
d. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan. 

Dari dasar-dasar umum penetapan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, dapat diambil kesimpulan bahwa yang digunakan oleh MUI dalam menetapkan fatwanya adalah pertama dengan merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Apabila tidak ditemukan dalil-dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul maka MUI merujuk kepada ijma, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan sad az-Zari’at serta pendapat-pendapat para imam-imam mazhab terdahulu. 

Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fiqh muqaran dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentajrihan. Setelah melewati itu semua baru diambil pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya. Tenaga ahli yang dimaksud adalah para pakar dalam bidangnya masing-masing. Dari semua keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa MUI dengan Komisi Fatwanya ketika menetapkan fatwanya akan memutuskan suatu permasalahan berdasarkan kemaslahatan umat, dengan merujuk kepada metode para alim ulama terdahulu.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel