[Materi Ikan Nila Lengkap] Pengertian, Budidaya, Manfaat, Klasifikasi, dan Morfologinya
Pengertian Ikan Nila Menurut Para Ahli
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan genus ikan yang dapat hidup dalam kondisi lingkungan yang memiliki toleransi tinggi terhadap kualitas air yang rendah, sering kali ditemukan hidup normal pada habitat-habitat yang ikan dari jenis lain tidak dapat hidup. Bentuk dari ikan nila panjang dan ramping berwarna kemerahan atau kuning keputih-putihan.
Perbandingan antara panjang total dan tinggi badan 3 : 1. Ikan nila merah memiliki rupa yang mirip dengan ikan mujair, tetapi ikan ini berpunggung lebih tinggi dan lebih tebal, ciri khas lain adalah garis-garis kearah vertikal disepanjang tubuh yang lebih jelas dibanding badan sirip ekor dan sirip punggung. Mata kelihatan menonjol dan relatif besar dengan tepi bagian mata berwarna putih (Sumantadinata, 1999).
Klasifikasi Ikan Nila
Ikan nila merupakan jenis ikan air tawar yang mempunyai nilai konsumsi cukup tinggi. Bentuk tubuh memanjang dan pipih ke samping dan warna putih kehitaman atau kemerahan. Ikan nila berasal dari Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya. Sekarang ikan ini telah tersebar ke negara-negara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis. Di wilayah yang beriklim dingin, ikan nila tidak dapat hidup baik (Sugiarto, 1988). Ikan nila disukai oleh berbagai bangsa karena dagingnya enak dan tebal seperti daging ikan kakap merah (Sumantadinata, 1981).
Terdapat tiga jenis ikan nila yang dikenal, yaitu nila biasa, nila merah (nirah) dan nila albino (Sugiarto, 1988). Menurut Saanin (1984), ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
- Kingdom : Animalia
- Filum : Chordata
- Subfilum : Vertebrata
- Kelas : Osteichtyes
- Subkelas : Acanthopterygii
- Ordo : Percomorphi
- Subordo : Percoidea
- Famili : Cichlidae
- Genus : Oreochromis
- Spesies : Oreochromis niloticus
Manfaat Ikan Nila
1. Ikan nila merupakan sumber protein hewani, khususnya ikan nila mengandung protein hewani yang tinggi dan harganya pun relatif murah bagi konsumsi manusia. Karena budidayanya mudah, harga jualnya juga rendah. Budidaya dilakukan di kolam-kolam atau tangki pembesaran. Pada budidaya intensif, nila tidak di anjurkan di campur dengan ikan lain, karena memiliki perilaku agresif.
2. Ikan nila sebagai pengendali nyamuk, ada beberapa alasan mengapa ikan nila memiliki prospek yang positif dalam program pengendalian nyamuk. Yakni ikan-ikan tersebut dapat hidup di air tawar, payau dan bahkan air laut. Bahkan, berbagai spesies nila mempunyai kemampuan memakan jentik nyamuk yang cukup tinggi. Seperti kemampuan nila dalam mengendalikan populasi jentik nyamuk.
Ikan nila telah dipakai sebagai agen pengendali jentik nyamuk vektor malaria di China, Somalia, Enthopia. Ternyata ikan tersebut dapat menurunkan populasi nyamuk terutama vektor malaria yang mempunyai tempat perindukan yang terbatas seperti kolam ikan dan reservoir air. Dari sini, tentu akan berdampak positif semakin kecilnya kemungkinan terjadi kontak gigitannyamuk dewasa dengan manusia, sehingga di harapkan dapat menekan kejadian penularan malaria.
Akhirnya, melalui pemanfaatan tempat peindukan nyamuk sebagai lahan bududaya ikan nila maka dampaknya ikan akan menjadi kenyang, sementara jentik nyamuk hilang, sehingga nyamuk dewasanya menjadi berkurang kepadatannya dan penyakit yang ditulasrkan oleh nyamuk pun jadi berkurang.
3. Manfaat ikan nila, selain sebagai pengendali hayati terhadap jentik nyamuk, juga melalui bududaya ini dapat meningkatkan pendapataan pengelola tambak. Sebab, usaha bududaya ini jelas-jelas mempunyai nilai ekonomi. Misalnya, memberikan tambahan penghasilan bagi penduduk setempat dalam menggunakan pakan, apalagi ikan ini bersifat omnivora (pemakan hewan dan tumbuhan) dan mempunyai kemampuan memakan yang cukup tinggi. Sehingga tidak aneh di kalangan para peternak ikan ada ungkapan, ”sekali di kembangkan pada tempat yang cocok, populasinya akan berkembang sendiri secara terus-menerus, biaya pemeliharaan relatif murah, tidak mencemari lingkungan, dan dapat di bududayakan pada rawa-rawa yang memiliki banyak tanaman air.
Morfologi Ikan Nila
Morfologi ikan nila (Oreochromis niloticus) menurut Saanin (1968), mempunyai ciri-ciri bentuk tubuh bulat pipih, punggung lebih tinggi, pada badan dan sirip ekor (caundal fin) ditemukan garis lurus (vertikal). Pada sirip punggung ditemukan garis lurus memanjang. Ikan Nila (oreochormis niloticus) dapat hidup diperairan tawar dan mereka menggunakan ekor untuk bergerak, sirip perut, sirip dada dan penutup insang yang keras untuk mendukung badannya.
Nila memiliki lima buah Sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip data (pectoral fin) sirip perut (ventral fin), sirip anal (anal fin), dan sirip ekor (caudal fin). Sirip punggungnya memanjang dari bagian atas tutup ingsang sampai bagian atas sirip ekor. Terdapat juga sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran kecil dan sirip anus yang hanya satu buah berbentuk agak panjang. Sementara itu, jumlah sirip ekornya hanya satu buah dengan bentuk bulat.
Habitat Dan Kebiasaan Hidup Ikan Nila
Ikan nila merupakan ikan konsumsi yang umum hidup di perairan tawar, terkadang ikan nila juga ditemukan hidup di perairan yang agak asin (payau). Ikan nila dikenal sebagai ikan yang bersifat euryhaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar). Ikan nila mendiami berbagai habitat air tawar, termasuk saluran air yang dangkal, kolam, sungai dan danau. Ikan nila dapat menjadi masalah sebagai spesies invasif pada habitat perairan hangat, tetapi sebaliknya pada daerah beriklim sedang karena ketidakmampuan ikan nila untuk bertahan hidup di perairan dingin, yang umumnya bersuhu di bawah 21 ° C (Harrysu, 2012). Menurut Mudjiman (2001), Ikan Nila (oreochormis niloticus) adalah termasuk campuran ikan pemakan campuran(omnivora).
Ikan nila mempunyai kemampuan tumbuh secara normal pada kisaran suhu 14-38°C dengan suhu optimum bagi pertumbuhan dan perkembangannya yaitu 25-30°C. Pada suhu 14°C atau pada suhu tinggi 38°C pertumbuhan ikan nila akan terganggu. Pada suhu 6°C atau 42°C ikan nila akan mengalami kematian. Kandungan oksigen yang baik bagi pertumbuhan ikan nila minimal 4mg/L, kandungan karbondioksida kurang dari 5mg/L dengan derajat keasaman (pH) berkisar 5-9 (Amri, 2003). Menurut Santoso (1996), pH optimum bagi pertumbuhan nila yaitu antara 7-8 dan warna di sekujur tubuh ikan dipengaruhi lingkungan hidupnya. Bila dibudidayakan di jaring terapung (perairan dalam) warna ikan lebih hitam atau gelap dibandingkan dengan ikan yang dibudidayakan di kolam
(perairan dangkal).
Pada perairan alam dan dalam sistem pemeliharaan ikan, konsentrasi karbondioksida diperlukan untuk proses fotosintesis oleh tanaman air. Nilai CO2 ditentukan antara lain oleh pH dan suhu. Jumlah CO2 di dalam perairan yang bertambah akan menekan aktivitas pernapasan ikan dan menghambat pengikatan oksigen oleh hemoglobin sehingga dapat membuat ikan menjadi stress. Kandungan CO2 dalam air untuk kegiatan pembesaran nila sebaiknya kurang dari 15 mg/liter (Sucipto dan Prihartono, 2005).
Ikan Nila Merah
Ikan nila merah mempunyai mulut yang letaknya terminal, garis rusuk terputus menjadi 2 bagian dan letaknya memanjang dari atas sirip dan dada, bentuk sisik stenoid, sirip kaudal rata dan terdapat garis-garis tegak lurus. Mempunyai jumlah sisik pada gurat sisi 34 buah. Sebagian besar tubuh ikan ditutupii oleh lapisan kulit dermis yang memiliki sisik. Sisik ini tersusun seperti genteng rumah, bagian muka sisik menutupi oleh sisik yang lain (Santoso, 1996).
Nila merah mempunyai 4 warna yang membalut sekujur tubuh, antara lain oranye, pink/albino, albino berbercak-bercak merah dan hitam serta oranye/albino bercak merah (Santoso, 1996). Berdasarkan kebiasaan makannya ikan nila merah termasuk pemangsa segala jenis makanan alam berupa lumutlumut, plankton dan sisa-sisa bahan organik maupun makanan seperti dedak, bungkil kelapa, bungkil kacang, ampas tahu dan lain-lain (Sugiarto, 1988).
Kedudukan taksonomi ikan nila merah :
- Filum : Chordata
- Sub filum : Vertebrata
- Kelas : Osteichtyes
- Sub kelas : Acanthopterigii
- Bangsa : Percomorphii
- Sub bangsa : Percoidea
- Famil : Chiclidae
- Marga : Oreochromis
- Jenis : Oreochromis niloticus
(Saanin, 1968 ; Pullin, 1984 ; Nelson, 1988)
Gambar: Anatomi Ikan Nila Merah (Sumber: Anonim 1998) Keterangan Bagian ikan nila merah :
a. celah mulut (rima oris)
b. mata (organon visus)
c. tutup insang (apparatus opercularis)
d. sirip punggung (pinna dorsalis)
e. sirip dada (pinna pectoralis)
f. sirip perut (pinna abdominales)
g. sirip belakang (pinna analis)
h. sirip ekor (pinna caudalis)
Daur siklus hidup ikan nila
Ikan nila merah hidup baik di dataran rendah atau di pegunungan dengan kisaran ketinggian antara 0 – 1.000 meter di atas permukaan air laut (Asnawi, 1986). Ditambahkan oleh Sugiarto (1988) bahwa ikan nila merah mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan. Sesuai dengan sifat dan daya tahan terhadap perubahan lingkungan maka ikan nila mudah dipelihara dan dibudidayakan di kolam-kolam dengan pemberian makanan tambahan berupa pakan buatan (pellet).
Menurut Sugiarto (1998), ikan nila merah memiliki kelebihan dibanding ikan lainnya:
a. Pertumbuhan lebih cepat dan mudah dikembangbiakan
b. Dapat memijah setelah umur 5-6 bulan
c. Setelah 1 – 1,5 bulan berikutnya dapat dipijahkan lagi
d. Mempunyai keturunan jantan yang dominan
e. Dalam waktu pemeliharaan selama 6 bulan benih ikan yang berukuran 30 g dapat mencapai 300 – 500 g
f. Toleransi hidupnya terhadap lingkungan cukup tinggi yaitu dapat tahan di air payau, serta tahan terhadap kekurangan oksigen terlarut di air
g. Nilai ekonominya cukup tinggi (Sugiarto,1998).
Namun, menurut Sugiarto (1988), nila merah juga mempunyai kelemahan yaitu “tukang kawin”, hal ini akan mengganggu pertumbuhannya, karena energi yang dihasilkan dari makanan lebih dimanfaatkan untuk persiapan pemasakan kelamin dibanding untuk pertumbuhan. Untuk membantu pertumbuhan ikan nila merah sangat membutuhkan intensifikasi, melalui pemberian makanan tambahan yang memadai.
Nila merah termasuk ikan yang mudah berkembangbiak hampir di semua perairan dibandingkan jenis ikan lainnya. Musim pemijahan terjadi sepanjang tahun dan mencapai kematangan kelamin pada umur sekitar 4-5 bulan dengan kisaran berat 120-180 g/ekor. Sesuai dengan sifat-sifat biologisnya, maka dalam proses pemijahannya tidak diperlukan manipulasi lingkungan secara khusus (Djajadireja dkk, 1990).
Selesai pemijahan, telur-telur yang telah dibuahi segera diambil oleh induk betina dan dikulum di mulut. Induk betina mengerami telur dalam mulut guna menjaga suhu tetap normal atau juga melindungi dari predator sehingga telur dapat menetas dengan baik. Pada umur 6-7 hari burayak mulai dilepas oleh induknya. Post larva yang sudah cukup kuat berenang dan dapat mencari makan sendiri (Santoso, 1996).
Selanjutnya menurut Kordi ( 1997), dalam sebuah publikasi ilmiah yang ditulis oleh seorang pakar ikan (Ichtyologi) Dr. Trewavas pada tahun 1980, menurutnya kelompok ikan Cichlidae dibedakan atas tiga genus sesuai dengan tingkah laku reproduksinya, yaitu sebagai berikut :
a. Genus Sarotherodon
Genus ini yang bertugas mengerami telur di mulut induk betina atau bahkan kedua induknya. Contoh spesiesnya : Sarotherodon galileacus dan
Sarotherodon melanotheron.
b. Genus Oreochromis
Pada golongan genus ini induk ikan betina yang mengerami telur di dalam rongga mulut dan mengasuh sendiri anak-anaknya. Contoh spesiesnya : Oreochromis spilarus, O. aereus, O. hantari, O. mossambicus, serta O.
niloticus.
c. Genus Tilapia
Genus ini memijah dan meletakkan telurnya pada substrat (batu, kayu atau benda yang lainnya). Induk jantan dan betina secara bergantian menjaga telur dan anak-anaknya, selain itu genus Tilapia mengeluarkan telur dalam jumlah yang sedikit. Contoh spesiesnya : Tilapia sparmii, Tilapia randalli, Tilapia zillii. Golongan ikan Tilapia ini berasal dari Afrika bagian timur seperti di Sungai Nil, Danau Tangayika, Chad, Nigeria dan Kenya. Sifatnya yang produktif dan efisien dalam menggunakan pakan menyebabkan ikan ini disukai oleh berbagai bangsa ( Suyanto, 1994).
Ikan nila merah jantan secara biologis, laju pertumbuhannya lebih cepat karena tidak mempersiapkan pembentukan kuning telur, vitelogenesis , pematangan telur dibandingkan dengan ikan nila betina (Popma & Masser, 1999). Data empiris menunjukkan penggunaan populasi tunggal kelamin jantan pada budidaya ikan nila akan memberikan produksi lebih baik dibandingkan populasi campuran (mixed-sex) (Rakocy & McGinty, 1989 ; Tave, 1993, Tave 1996 ; Chapman, 2000; Dunham, 2004; Gustiano, 2006). Salah satu metode untuk mendapatkan populasi ikan nila tunggal kelamin jantan yang banyak dilakukan adalah dengan metode pembalikan kelamin atau sex reversal. Teknik ini biasa digunakan dengan menggunakan penambahan hormon sintetik 17αmetiltestosterone (17 α -mt) .
Akan tetapi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor KEP.20/MEN/2003, hormon 17α –mt termasuk dalam klasifikasi obat keras yang berarti bahwa peredaran dan pemanfaatannya menjadi semakin dibatasi terkait dengan dampak negatif yang dapat ditimbulkan, baik kepada ikan, manusia, maupun lingkungan. Hormon 17α –mt yang notabene merupakan hormon sintetik bersifat karsinogenik bagi manusia. Selain itu, hormon ini juga berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan karena sulit terdegradasi secara alami (Contreras-Sancez & Fitzpatrick, 2001).
Dalam upaya menggantikan fungsi hormon 17α–mt, mulai dikembangkan penggunaan bahan-bahan alternatif yang lebih aman untuk “dikonsumsi”. Salah satu bahan alternatif yang mulai banyak digunakan adalah bahan aromatase inhibitor yang terdapat pada madu. Aromatase inhibitor adalah bahan kimia yang mampu menghambat sekresi enzim aromatase yang berperan dalam sintesis estrogen dari androgen (Sever dkk, 1999). Penurunan rasio estrogen terhadap androgen menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai jantan, atau terjadi jantanisasi karakteristik seksual sekunder.
Reproduksi Ikan Nila Merah
Nila merah mulai memijah pada umur 4 bulan atau panjang badan berkisar 9,5 cm. Pembiakan terjadi setiap tahun tanpa adanya musim tertentu dengan interval waktu kematangan telur sekitar 2 bulan. Proses pemijahan alami pada suhu air berkisar 25-30 derajat Celcius, keasaman (pH) 6,5-7,5, dan ketinggian air 0,6-1m. Pemasukan induk ikan ke dalam kolam dilakukan pada pagi dan sore hari karena suhu tidak tinggi, dan untuk menjaga agar induk tidak stress, induk dimasukkan satu persatu. Induk betina matang kelamin dapat menghasilkan telur antara 250 - 1.100 butir (Sugiarto, 1988). Nila merah tergolong sebagai Mouth Breeder atau pengeram dalam mulut.
Telur-telur yang telah dibuahi akan menetas dalam jangka 35 hari di dalam mulut induk betina (Suyanto, 1994). Nila merah jantan mempunyai naluri membuat sarang berbentuk lubang di dasar perairan yang lunak sebelum mengajak pasangannya untuk memijah. Selesai pemijahan, induk betina menghisap telur-telur yang telah dibuahi untuk dierami di dalam mulutnya. Induk jantan akan meninggalkan induk betina, membuat sarang dan kawin lagi. Ikan nila merupakan Parental Care Fish, yaitu tipe yang mengerami telur dan menjaganya dalam mulut (Suyanto, 1994). Nila betina mengerami telur di dalam mulutnya dan senantiasa mengasuh anaknya yang masih lemah. Selama 10-13 hari, larva diasuh oleh induk betina. Jika induk betina melihat ada ancaman, maka anakan akan dihisap masuk oleh mulut betina, dan dikeluarkan lagi bila situasi telah aman. Benih diasuh sampai berumur kurang lebih 2 minggu (Sugiarto,1988).
Proses diferensiasi kelamin merupakan proses perkembangan gonad ikan menjadi suatu jaringan yang definitif. Fenotip atau perwujudan kelamin bergantung pada dua proses, yaitu faktor genetik dan oleh faktor lingkungan. Kedua proses tersebut secara bersamaan bertanggungjawab pada timbulnya morfologi, fungsional, maupun tingkah laku pada individu jantan atau individu betina. Secara genetik, jenis kelamin sudah ditentukan saat pembuahan, namun pada saat embrio, gonad atau organ kelamin primer masih berada dalam keadaan indiferen, yaitu keadaan saat bakat-bakat untuk menjadi jantan atau betina dalam bentuk rudimeter serta semua kelengkapan struktur-struktur jantan dan betina sudah ada, hanya menunggu perintah diferensiasi dan penekanan ke arah aspekaspek jantan atau betina (Fujaya, 2002).
Fujaya (2002) menyatakan bahwa mekanisme diferensiasi kelamin mulamula berawal dari adanya sintesis hormon yang terjadi bila ada perubahan lingkungan (tidak sesuai dengan kondisi normal atau adanya ketidakseimbangan antara kondisi dalam dan luar tubuh). Perubahan lingkungan yang terjadi akan diterima oleh indra, lalu disampaikan ke sistem syaraf pusat, setelah itu dikirim ke hipotalamus, kemudian memerintahkan kelenjar hipofisis untuk mengeluarkan atau melepaskan hormon gonadatropin. Hormon gonadotropin ini masuk ke dalam darah dan dibawa ke gonad sebagai suatu petunjuk untuk memulai pembentukan gonad. Hormon jantan utamanya adalah testosteron dan betina estrogen.
Produksi Ikan Nila
Teknik produksi benih ikan nila jantan (jantanisasi) berkaitan erat dengan proses awalnya yaitu pembenihan. Pembenihan dilakukan dengan memelihara seekor ikan nila jantan dan 3-5 ekor nila betina dalam ruang pemijahan, berukuran 1m2, masing-masing berumur 4 bulan. Ruang pemijahan dilengkapi dengan bilahan-bilahan bambu yang diatur rapat seperti pagar (Gambar 2).
Masalah umum yang dihadapi dalam budidaya ikan nila adalah kemampuan reproduksi ikan yang sangat tinggi, sehingga sukar diatur dan sering terjadi inbreeding. Akibatnya tingkat pertumbuhan ikan menjadi lambat sehingga diperlukan waktu yang lama untuk mencapai ukuran layak konsumsi. Jika ikan nila dipelihara dengan cara campur kelamin, maka ikan dengan ukuran 50g/ekor sudah mulai memijah dan mengerami telur, sehingga pertumbuhan terhambat dan energi terkuras untuk memijah dan mengerami telur.
Pertumbuhan dan survival rate benih selama proses pengubahan kelamin juga ditentukan oleh beberapa faktor, seperti padat tebar yang tentu sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup, semakin tinggi padat tebar maka kelangsungan hidupnya rendah karena terjadi persaingan dalam memperoleh makanan, pemberian pakan yaitu nutrisi yang dibutuhkan oleh ikan, memberi pengaruh terhadap pertumbuhan dan survival rate karena kualitas dan kuantitasnya harus memenuhi padat tebar ikan, suhu juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan survival rate ikan nila apabila suhu terlalu rendah ikan tidak dapat tumbuh dengan baik, demikian juga pada suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kematian pad ikan nila dan kondisi lingkungan lainnya berupa kualitas air yang baik, maka ikan nila tidak mudah terserang penyakit dan dapat tumbuh serta bertahan hidup dengan baik, sebaliknya kualitas air yang tidak baik akan mengakibatkan ikan nila mudah terserang penyakit sehingga pertumbuhan dan survival rate akan terganggu (Bocek dkk, 1992 dalam Guerrero III dan Guerrero, 2004).
Nila memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan hidupnya, sehingga dapat dipelihara di dataran rendah yang berair payau hingga di daratan tinggi yang berair rawa (Suryanti dan Ismail, 1997 ; Suyanto, 1998). Habitat hidup ikan ikan ini cukup beragam, bisa di sungai, danau, waduk, rawa, sawah, kolam ataupun tambak. Ikan ini dapat tumbuh secara normal pada kisaran suhu udara 14-38oC akan tetapi pada suhu 6o atau 42oC ikan ini akan mengalami kematian (Santoso, 1996).
Selain suhu, faktor lain yang dapat memengaruhi kehidupan ikan ini adalah salinitas atau kadar garam (Santoso, 1996). Nila dapat tumbuh dan berkembangbiak di perairan dengan salinitas 0-28 ppt. Ikan ini masih bisa tumbuh, tetapi tidak dapat berkembangbiak di perairan dengan salinitas 29-35 ppt, hal ini mengakibatkan sulit untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh atau osmoregulasi (Anggawati,1991 ; Tonnek, 1991; Suryanti, 1991). Ikan nila yang masih kecil biasanya lebih cepat menyesuaikan diri terhadap kenaikan salinitas karena metabolisme masih berkembang dengan cepat, sehingga organ-organ tubuhnya (insang, ginjal dan usus) cepat merespon perubahan lingkungan yang terjadi dibandingkan dengan ikan nila yang berukuran besar.
Penerapan teknologi budidaya ikan nila merah jantan memberikan berbagai keuntungan baik dari segi teknis maupun ekonomis (Husen, 2008). Benih yang dihasilkan seragam (ukuran dan jenis kelamin), sehingga petani tidak perlu lagi melakukan sortasi atau seleksi benih serta ikan nila terhindar dari pemijahan yang terlalu dini dan inbreeding (Suyanto, 1998). Pemijahan dini dapat menurunkan produktivitas ikan budi daya akibatnya pertumbuhan ikan terhambat bahkan terhenti terutama pada ikan betina (Suyanto, 1994).
Budidaya ikan nila merah jantan juga memudahkan petani menerapkan budidaya ikan tunggal kelamin terutama untuk menghindari inbreeding atau perkawinan pada keturunan yang sama. Pada budidaya secara tunggal kelamin, energi dari makanan hanya digunakan untuk pertumbuhan sehingga dapat meningkatkan produksi (Suyanto, 1994).
Pemisahan kelamin secara manual
Pemisahan kelamin secara manual merupakan cara yang paling sederhana karena hanya memerlukan ketrampilan membedakan jenis kelamin ikan nila dengan melihat urogenital papillae dan telah diuji oleh beberapa peneliti
Hickling (1963) ; Meschkat dkk, (1967 dalam Mukti 1998). Pada betina terdapat 2 lubang, sedangkan pada jantan terdapat 1 lubang. Lovshin dan Da Silva (1975, dalam Mukti 1998), mengatakan bahwa memisahkan benih ikan berdasarkan jenis kelamin kurang efesien karena boros waktu dan tenaga. Kegiatan pemilihan tergantung pada keterampilan petani dalam mengenal perbedaan jantan – betina ikan. Biasanya derajat kesalahannya dapat mencapai 10% .
Ciri-ciri yang dapat menjadi pembeda antara benih ikan nila jantan dan betina adalah sebagai berikut:
1. Sisik nila jantan lebih besar daripada nila betina
2. Alat kelamin jantan berupa satu lubang di papilla yang berfungsi sebagai muara urine dan sperma, sedangkan alat kelamin betina terdiri dua lubang yang juga terletak di papilla, salah satu lubang untuk muara urine dan lubang lain untuk pengeluaran telur.
3. Sisik di bawah dagu dan perut nila jantan berwarna gelap, sedangkan pada betina berwarna putih/cerah.
Madu Lebah Hutan
Benih ikan nila jantan antara lain dapat diproduksi dengan rangsangan kandungan Chrysin yang terdapat pada Madu Lebah Hutan. Madu adalah salah satu pemanis alami yang banyak digunakan oleh masyarakat di dunia (Ball, 2007). Suatu individu akan berubah atau berdiferensiasi pada awal perkembangannya, tergantung dengan ada atau tidaknya hormon testoteron. Gonad akan berdiferensiasi menjadi jantan apabila terdapat hormon testoteron, sebaliknya gonad akan terdiferensiasi menjadi betina apabila terdapat hormon estradiol (Anonim, 2007b).
Madu mengandung chrysin (aromatse inhibitor) berfungsi untuk menghambat kerja aromatase dalam sintesis estrogen (IJEACCM, 2006). Secara umum mekanisme penghambatan dengan 2 cara yaitu menghambat proses transkripsi gen aromatase sehingga mRNA tidak terbentuk dan sebagai konsekuensinya enzim aromatase tidak ada (Sever dkk, 1999) dan melalui cara bersaing dengan substrat selain testosteron sehingga aktivitas enzim aromatase tidak berjalan (Brodie, 1991). Penghambatan ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari gen aromatase sebagai umpan baliknya (Balthazar dan Ball, 1989 dalam Sever, 1999).
Penurunan rasio estrogen terhadap androgen mengakibatkan terjadinya perubahan penampakan hormonal dari betina menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi jantanisasi karakteristik seksual sekunder (Davis, 1999). Chrysin merupakan isoflavonoid dari bunga. Umumnya digunakan dalam dunia pembentukan tubuh dan dalam olah raga pada umumnya untuk meningkatkan energi tubuh melalui peningkatan level testosteron. Chrysin memiliki kemampuan menutup produksi estrogen dan meningkatkan produksi testosterone
(Dean, 2004).
Penggunaan Madu pada Ikan
Teknik perubahan jenis kelamin (sex reversal) dengan perlakuan hormon untuk menghasilkan kelamin tunggal telah dikembangkan sejak sekitar 20 tahun yang lalu di negara Taiwan dan Israel (Suyanto, 1994). Pemberian hormon androgen melalui pakan pada periode interval waktu perkembangan gonad yaitu gonad masih dalam keadaan labil akan menghasilkan populasi jantan sebesar 95100 persen ( Buddle (1984, dalam Mukti 1998) dan Macintosh (1987).
Selanjutnya dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa ikan jenis kelamin jantan hasil (sex reversal) tumbuh lebih cepat daripada ikan-ikan yang tidak mendapat perlakuan hormon ( Avtalion, 1982, dalam Mukti 1998).
Menurut Yamazaki (1983, dalam Wardhana, 1992), untuk merangsang perubahan kelamin pada ikan, perlakuan hormon steroid sintesis harus dimulai pada saat yang tepat yaitu gonad dalam keadaan labil dan berlangsung selama waktu setelah menetas sampai 30 hari. Derajat keberhasilan pengubahan jenis kelamin yang tinggi dapat diperoleh dengan memperhatikan beberapa faktor yang penting seperti lama pemberian hormon (Chan dan Yeung, 1983).
Salah satu cara untuk menghasilkan populasi ikan nila kelamin jantan adalah menggunakan hormon untuk merangsang perubahan kelamin. Hormon yang biasa digunakan adalah hormon methyltestosteron (MT) dicampurkan ke pakan atau perendaman (Phellps, 2001). Dari hasil penelitian Mukti (1998), lama perendaman optimal untuk pengalihan kelamin dari betina ke jantan adalah dosis optimal 0,6 mg MT/liter.
Namun, penggunaan hormon sudah mulai dikurangi karena berbahaya bagi lingkungan terutama penggunanya (Phellps, 2001). Hal tersebut mengakibatkan perlunya bahan alami yang dapat menggantikan hormon dalam proses jantanisasi, salah satunya yaitu madu. Madu merupakan bahan alami yang didalamnya terdapat senyawa aromatase inhibitor alami berupa chrysin (Dean, 2004). Penelitian budidaya ikan guppy jantan menggunakan madu yaitu dengan cara perendaman, bertujuan untuk menentukan dosis perendaman yang optimum dalam mengarahkan kelamin ikan guppy menjadi
jantan (Martati , 2006).
Metode yang digunakan yaitu dengan perendaman ikan guppy betina dalam madu selama 15 jam pada dosis perlakuan 0 mL/L (kontrol), 25, 50, dan 75 mL/L. Hasil penelitian Sarida dkk (2010) menunjukkan bahwa dosis madu berpengaruh terhadap persentase ikan guppy berjenis kelamin jantan dengan nilai tertinggi pada dosis 50mL/L dengan persentasenya 64,07 ± 9,71%. Sehingga memperoleh kesimpulan bahwa dosis perendaman madu yang optimum dalam produksi ikan guppy jantan adalah 50mL/L (Martati, 2006).
Budidaya Ikan Nila
Ikan Nila merupakan salah satu komoditi penting perikanan budidaya air tawar di Indonesia. Ikan ini sebenarnya bukan asli perairan Indonesia, melainkan ikan yang berasal dari Afrika (Wikipedia, 2007). Menurut sejarahnya, ikan Nila pertama kali didatangkan dari Taiwan ke Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor pada tahun 1969. Setelah melalui masa penelitian dan adaptasi, ikan ini kemudian disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia. Pemberian nama “Nila” berdasarkan ketetapan Direktur Jenderal Perikanan tahun 1972, jadi “Nila” adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh pemerintah melalui Direktur Jenderal Perikanan. Nama tersebut diambil dari nama spesies ikan ini, yakni nilotica yang kemudian diubah menjadi Nila. Para pakar perikanan memutuskan bahwa nama ilmiah yang tepat untuk ikan Nila adalah Oreochromis niloticus atau Oreochromis sp. dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Nile tilapia (Wikipedia, 2007).
Budidaya ikan Nila disukai karena ikan Nila mudah dipelihara, laju pertumbuhan dan perkembangbiakannya cepat, serta tahan terhadap gangguan hama dan penyakit. Selain dipelihara di kolam biasa seperti yang umum dilakukan, ikan Nila juga dapat dibudidayakan di media lain seperti kolam air deras, kantong jaring apung, karamba, dan sawah. Salah satu daerah yang potensial untuk budidaya ikan Nila di Indonesia adalah Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Klaten. Hal ini mengingat ikan Nila selain untuk konsumsi lokal juga merupakan komoditas ekspor terutama ke Amerika Serikat dalam bentuk fillet (daging tanpa tulang dan kulit) sehingga menjadi komoditi unggulan daerah.
Budidaya ikan Nila di wilayah Klaten dilakukan di lahan kolam maupun lahan nonkolam berupa sawah dan perairan umum seperti rawa/waduk, sungai dan genangan air lainnya. Luas lahan kolam di Kabupaten Klaten yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan mencapai 483,3 ha (Bappeda Klaten, 2011). Namun demikian, mengingat kedalaman air dan debit air yang terbatas dan cenderung berfluktuasi, maka hanya sebagian dari potensi kolam tersebut yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya ikan. Sedangkan lahan non-kolam yang kini telah dimanfaatkan untuk budidaya ikan antara lain adalah sawah, rawa/waduk (karamba dan jaring tancap), dan perairan umum. Sumber air utama untuk memenuhi kebutuhan air kolam adalah berupa mata air (umbul).
Kegiatan pembenihan ikan Nila di kolam sangat ditentukan oleh ketersediaan air yang kontinu dan dalam jumlah yang mencukupi. Di Kabupaten Klaten, Kecamatan Polanharjo, Tulung dan Karanganom memiliki sumber air yang berlimpah berupa mata air, dikenal sebagai penghasil benih ikan nila terbesar di wilayah tersebut dan disebut dengan kawasan minapolitan dengan luas areal perikanan ±50 ha. Namun demikian produksi benih dari daerah dimaksud belum mampu mencukupi kebutuhan para pembudidaya pembesaran ikan Nila setempat, sehingga kekurangan benih harus dipenuhi dari daerah lain antara lain dari Cangkringan Sleman - DIY.
Untuk pengembangan usaha pembenihan ikan Nila di masa yang akan datang, Kecamatan Polanharjo memiliki potensi yang jauh lebih tinggi daripada Kecamatan Tulung dan Karanganom. Hal ini disebabkan luas kolam di Kecamatan Polanharjo mencapai +30 ha (60% dari total luas kolam di kawasan minapolitan Kabupaten Klaten) sehingga sangat potensial untuk dijadikan sebagai sentra produksi benih. Selain itu secara kelembagaan, usaha pembenihan tersebut juga sangat didukung oleh keberadaan Pusat Pembenihan dan Budidaya Ikan Air Tawar (PBIAT) Janti di Polanharjo yang dikelola oleh Pemprov Jawa Tengah.
Saat ini pembiayaan perbankan kepada usaha pembenihan ikan Nila belum cukup besar. Hal ini diantaranya disebabkan prospek usaha pembenihan ikan Nila ini belum cukup baik terinformasi kepada lembaga perbankan, khususnya di Kabupaten Klaten, sementara yang cukup banyak dikenal adalah usaha budidaya/pembesaran ikan Nila. Oleh karena itu, Bank Indonesia perlu menyusun suatu informasi/penelitian/pola pembiayan yang dapat dengan mudah dipahami oleh perbankan maupun lembaga keuangan lainnya untuk keperluan pembiayaan/penyaluran kredit guna pengembangan usaha ini.
Pengadaan/Seleksi Induk
Tahap pertama dari proses pembenihan adalah pengadaan/seleksi induk unggul. Induk unggul adalah induk ikan Nila yang apabila dikawinkan akan menghasilkan anakan yang memiliki sifat-sifat unggul, yaitu responsif terhadap pemberian pakan/cepat besar, sehat, dan memiliki penampilan fisik/warna yang sesuai dengan selera pasar. Langkah pengadaan induk dapat ditempuh dengan membeli induk unggul ke Balai Benih milik Pemerintah atau membeli induk unggul ke perusahaan pembenihan yang menyediakan broodstock/calon induk. Petani sebenarnya dapat juga mengadakan induk sendiri dengan cara menyeleksi ikan-ikan yang dinilai bagus yang ada di kolamnya, namun demikian langkah ini tidak dianjurkan karena bisa jadi ikan tersebut secara genetis sudah bukan merupakan induk unggul sehingga keunggulan tersebut tidak akan menurun ke anakannya, di samping juga bahaya terjadinya inbreeding sehingga kualitas anakannya justru diprediksi lebih buruk dari yang sudah ada.
Persiapan Induk/Pematangan Gonad
Setelah diperoleh induk-induk unggul, maka induk ikan tersebut harus dipisah dulu antara induk ikan jantan dengan yang betina. Masyarakat biasa menyebut langkah ini dengan “pem-berok-an”. Tujuan dari langkah ini adalah agar sel-sel benih (gonad)-nya induk tersebut matang, sehingga tahap ini juga disebut dengan tahap “pematangan gonad”, diharapkan agar ketika jantan dan betina dipertemukan (dipijahkan/dikawinkan) akan menghasilkan pemijahan yang serempak dengan tingkat keberhasilan pembuahan yang tinggi sehingga menghasilkan banyak anakan.
Pada tahap pematangan gonad ini, induk Nila diberi pakan bermutu tinggi dalam jumlah yang cukup dan sudah didesinfeksi agar bebas dari jasad penyakit. Biasanya tahap pematangan gonad dilakukan selama 2 minggu. Induk yang telah matang gonad akan memiliki warna yang lebih kuat, pada induk jantan ditambahi dengan alat kelamin yang meruncing. Agar benih yang dihasilkan selalu bagus, maka induk harus diafkir setelah memijah maksimal 12 kali. Induk yang paling sering dipergunakan di kawasan minapolitan Kabupaten Klaten selama ini adalah induk-induk lokal, ditambah dengan induk unggul seperti ikan Pandu dan Kunti (hitam dan merah) yang dapat menghasilkan ikan Nila hibrid yaitu Larasati (Nila Merah Strain Janti), serta sedang diuji coba induk unggul Mentaris dari Pasuruan yang berwarna merah.
Setelah selesai masa pemijahan dalam satu siklus (30 hari/1 bulan), indukinduk betina diistirahatkan dan dipisahkan dari induk jantan selama 3-4 minggu dan diberi pakan dengan kandungan protein di atas 35 %.
Pemijahan
Proses perkawinan induk jantan dan betina sampai menghasilkan larva disebut pemijahan. Ikan Nila dapat dipijahkan secara alamiah (tanpa pemberian rangsangan hormon), semi buatan (dengan pemberian rangsangan hormon dengan proses ovulasi secara alamiah), dan buatan (dengan pemberian rangsangan hormon dengan proses ovulasi dan pembuahan dilakukan secara buatan). Rangsangan agar induk dapat memijah dilakukan dengan cara manipulasi lingkungan seperti pengeringan kolam, pengaliran air baru dan pemberian lumpur pada dasar kolam atau dengan cara hormonal/teknik hipofisasi.
Nila jantan akan membuat sarang pada dasar kolam kemudian mengundang betina untuk bertelur pada sarang, ketika telur-telur Nila keluar, Nila jantan akan membuahi dengan cara menyemprotkan “cairan jantan” ke telur-telur. Setelah telur dibuahi oleh si jantan maka betina kembali menyimpan telur-telur ke dalam mulutnya. Nila mulai dapat memijah pada umur 4 bulan atau bobot sekitar 100 – 150 gram tetapi produksi telurnya masih sedikit. Induk yang paling produktif bobotnya antara 500 – 600 gram. Apabila bobot induk sudah melebihi 1 kg (umur sudah 1 tahun lebih), induk dianggap sudah terlalu tua sehingga kualitas anaknya kurang baik. Pembiakan terjadi setiap tahun tanpa adanya musim tertentu. Induk betina matang kelamin dapat menghasilkan telur antara 300 -1.500 butir tergantung ukuran induk betina tersebut.
Dalam beberapa hari telur akan menetas menghasilkan anak ikan kecil yang disebut dengan larva hingga umur 1-5 hari. Pada usia ini, induk Nila akan terus menjaga anak-anak ikan dengan menyimpan dan mengamankan dalam mulutnya (masuk-keluar mulut). Setelah usia 4-5 hari, larva mulai terbentuk seperti ikan dewasa dan pada usia ini, induk akan mulai membiasakan anak-anaknya untuk mencari makan sendiri.
Pada sistem sapih benih, anak ikan yang telah dilepas dari induk ini kemudian oleh petani diambil dengan jaring setiap pagi dan sore untuk dipindahkan ke kolam penderan I. Sedangkan pada sistem ketek, induk Nila dipaksa untuk segera melepaskan anak-anak ikan dari mulutnya ke media wadah dengan cara diberi kejutan agar segera mengeluarkan telur yang dierami di dalam mulutnya. Telur yang telah ditetaskan, ditempatkan dalam media wadah, dan induk kemudian dimasukkan ke kolam conditioning untuk dilakukan proses pematangan gonad kembali.
Pendederan I adalah pemisahan larva dengan induknya. Pemeliharaan larva dimaksudkan untuk disiapkan menjadi anak-anak ikan yang lebih besar yang dinamakan Nener. Pendederan I dilakukan sejak larva dilepaskan dari mulut induk Nila s.d. +1,5 bulan. Pemindahan larva ke kolam pendederan dimulai ketika larva berusia 5-7 hari. Pada 10 hari pertama, pakan diberikan dengan kandungan protein tinggi yang berbentuk tepung 4-5 kali sehari masing-masing satu sendok teh pakan ikan berbentuk tepung yang dicairkan.
Kebutuhan pakan pada tahap ini tidak terlalu signifikan karena biasanya kebutuhan pakan untuk anak ikan dianggap sudah tercukupi dari pekan alami yang ada dalam air kolam terutama untuk kolam yang sudah disuburkan dengan pupuk kolam yang ditandai dengan air kolam berwarna hijau gelap. Sebenarnya setelah masa pemeliharaan 21 hari, anak ikan (nener) dengan bobot rata-rata 1,25 gr ( ukuran panjang 2-3 dan 3-5 cm ) sudah bisa dipanen, namun biasanya petani terus memeliharanya hingga 1- s.d. 1,5 bulan agar anak ikan menjadi lebih besar dan memberikan keuntungan yang lebih besar.
Pendederan II (Gelondong)
Setelah pendederan I selama 1 s.d. 1,5 bulan atau 5-6 minggu, anak ikan sudah berukuran rata-rata 5-7 cm, dan kemudian anak ikan dapat dipindahkan ke kolam pendederan II agar lebih leluasa tumbuh. Pendederan II dimaksudkan untuk mempersiapkan anak ikan tumbuh lebih besar selama sekitar 4-6 minggu lagimenjadi ukuran 10 - 14 cm (ukuran gelondong kecil) dan siap untuk dijual ke pengusaha pembesaran. Beberapa pembenih malah memperlama masa pendederan II ini mencapai 8 – 12 minggu sehingga anak ikan mencapai ukuran 16 – 18 cm (ukuran gelondong besar). Hal ini karena pengusaha pembesaran ikan Nila bersedia menerima benih ukuran kedua-duanya yaitu gelondong kecil maupun gelondong besar untuk dibesarkan menjadi ikan Nila siap konsumsi. Pada pendederan II, pakan yang diberikan berukuran 1,5 mm dengan kandungan protein 30-35% yang sudah tersedia di toko penjual pakan ternak. Pakan diberikan sebanyak 3 kali sehari.
Pemanenan
Ikan Nila dapat dipanen mulai dari ukuran nener maupun gelondong tergantung kebutuhan, namun secara umum benih ikan Nila dijual ke pengusaha pembesaran ikan pada ukuran gelondong, baik itu gelondong kecil maupun gelondong besar.
Pada penjualan benih dengan ukuran yang lebih kecil, keuntungan bagi pembenih adalah turnover usaha menjadi lebih pendek, sedangkan kerugiannya adalah pembenih kehilangan opportunity cost karena apabila benih tersebut dibesarkan sedikit lagi hingga ukuran gelondong/gelondong besar maka pembenih akan mendapatkan marjin usaha yang lebih besar. Pertimbangan lain bagi pembenih sehingga memilih menjual benihnya pada ukuran lebih kecil adalah biasanya karena tidak memiliki lahan yang cukup luas untuk membesarkan anak ikan hingga ukuran gelondong/gelondong besar, karena semakin besar anak ikan memerlukan ruang gerak/kolam yang makin luas.
Panen benih ikan biasanya dilakukan pada awal pagi hari dan sudah harus selesai sebelum sekitar jam 10 pagi. Panen harus sudah selesai sebelum tengah hari karena benih ikan bisa mati akibat kepanasan selama proses panen tersebut. Panen diawali dengan penyiapan bak penampungan nener di sebelah lubang drainasi kolam, bak penampungan dapat berupa ember besar (blong), dapat pula berupa jaring/hapa yang direndam dalam air.
Selanjutnya adalah proses pengaturan air kolam dengan cara pembukaan lubang drainasi dan penutupan saluran air masuk (intake). Agar benih ikan tidak hanyut, maka lubang drainase dilingkupi dengan jaring. Selanjutnya setelah air tinggal sedikit (kira-kira ketinggian 10 cm, dibuat tanggul dari lumpur mengelilingi lubang drainase dan kemudian dipasang jaring “sandhat” di mulut tanggul lumpur tersebut.Saat itu air akan terus mengalir menuju lubang drainase dan anak ikan akan terhanyut di dalamnya serta mengumpul di depan jaring “sandhat”, kemudian anak ikan tersebut diambil dengan jaring “seser” untuk di pindah ke bak penampungan. Hal ini dilakukan terus menerus hingga benih ikan terpindahkan semua. Kolam pembenihan dibiarkan mengering, dan tidak boleh ada anak ikan yang tertinggal dalam keadaan hidup (karena nantinya dapat menjadi hama bagi anak ikan yang lebih kecil).
Setelah anak ikan dipindahkan ke bak penampungan semua, maka ikan dibiarkan selama sehari dan tetap dipuasakan agar tidak stres. Proses selanjutnya dilakukan keesokan harinya lagi selama sehari dan tetap dipuasakan agar tidak stres. Proses selanjutnya dilakukan keesokan harinya lagi.
Setelah didiamkan sehari, kemudian anak ikan di-grading, yaitu anak ikan dipisah-pisahkan sesuai kelompok ukurannya. Anak ikan dikelompokkan dalam 3 ukuran yaitu 3-5 cm, 5-7 cm dan 7-9 cm. Anak ikan yang berukuran lebih kecil dibuang (biasanya jenisnya kerdil/di bawah normal), sedangkan yang melebihi ukuran normal itu juga dibuang atau dipelihara tersendiri untuk uji coba dijadikan calon indukan. Selanjutnya setelah di-grading, masing-masing kelompok anak ikan tersebut ditimbang atau dihitung jumlahnya, dan selanjutnya dijual.
Kendala Produksi
Kendala umum yang terjadi pada produksi benih yaitu ketersediaan benih yang tidak sesuai dengan waktu kebutuhan pembudidaya. Selain itu kualitas benih mengalami penurunan yang disebabkan terjadinya kawin kerabat (inbreeding) yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas genetik. Turunnya kualitas genetik dicirikan oleh pertumbuhan yang lambat, matang kelamin di usia muda, dan kematian yang tinggi akibat penurunan daya tahan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan. Alternatif untuk mengatasi masalah tersebut yaitu mendatangkan induk baru atau melakukan pembenihan terprogram melalui upaya pemuliaan, khususnya dengan persilangan untuk memperbaiki karakter yang diinginkan.
Kendala lainnya yang sering dijumpai dalam produksi benih Nila adalah faktor musim. Pada puncak musim penghujan (sekitar bulan Januari-Feruari) dan puncak musin kemarau (sekitar bulan Juli-Agustus), produksi benih ikan biasanya turun, karena pada bulan-bulan tersebut suhu lingkungan menjadi ekstrim sehingga tingkat metabolisme ikan menurun dan produksi telur dari induk ikan Nila berkurang.
Pengiriman benih ikan harus memperhatikan beberapa hal, karena proses persiapan hingga pengiriman jika tidak diperhatikan dengan seksama dan hatihati akan menyebabkan benih ikan yang kita kirim tidak sampai dengan selamat sampai tangan pembeli. Kantong plastik saat ini menjadi alternatif yang banyak digunakan dalam pengirimian benih ikan. Udara dalam kantong plastik akan diganti dengan oksigen murni. Plastik ditutup rapat, ditempatkan dalam wadah terisolasi dan akhirnya ke dalam kotak kardus/box pengiriman lalu dikirim baik lewat darat, udara, maupun laut. Pengiriman menggunakan kantong plastik mungkin pilihan terbaik untuk pengirim karena beberapa alasan. Pertama, ikan sangat kecil dan dapat rusak jika dikirim dengan tangki besar. Kedua, karena jarak yang sangat jauh sehingga dapat menekan biaya pengiriman.
Kesehatan ikan dipengaruhi oleh perubahan parameter kualitas air sementara dalam kantong plastik selama proses pengiriman. Parameter yang harus dipertimbangkan adalah suhu, oksigen terlarut, pH, karbon dioksida, amonia dan keseimbangan garam darah ikan. Tingkat perubahan setiap parameter dipengaruhi oleh berat dan ukuran ikan yang akan diangkut dan lama waktu pengiriman. Ikan adalah hewan berdarah dingin, sehingga tingkat metabolisme ikan dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Tingkat metabolisme ikan akan berlipat ganda untuk setiap kenaikan 18o F dalam suhu dan dikurangi setengahnya untuk setiap penurunan 18o F pada suhu. Tingkat metabolisme berkurang akan menurunkan konsumsi oksigen, produksi amonia dan produksi karbondioksida. Oleh karena itu, sangat penting untuk pengiriman ikan sebagai suhu rendah. Untuk spesies air dingin dan hangat suhu 55o sampai 60o F dianjurkan.
Apabila jarak antara lokasi panen benih dengan kolam pembesaran relatif dekat, biasanya benih ikan Nila cukup diangkut dengan ember biasa (ember besar/blong). Namun apabila jaraknya cukup jauh, maka benih ikan harus dikemas dalam kantong plastik berbentuk bola yang diisi dengan oksigen. Pengangkutan benih ikan juga sebaiknya menghindari saat-saat terik matahari agar anak ikan tidak mati, sehingga benih ikan diangkut biasanya pada malam hari, awal pagi hari, atau sore hari.