Mempertahankan Keadaan Pesisir Pantai Agar Tidak Rusak

Wilayah pesisir di Indonesia memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi seperti terumbu karang, hutan bakau (mangrove), estuaria, padang lamun dan lain sebagainya.  Sumber daya hayati di kawasan ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.  Selain itu wilayah pesisir juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang cukup tinggi nilai ekonomisnya.

Mempertahankan Keadaan Pesisir Pantai Agar Tidak Rusak

Dalam satu dekade belakangan ini, laju pemanfaatan sumber daya pesisir mulai intensif untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan kebutuhan lahan pesisir untuk permukiman mereka.  Hampir semua kota besar di Indonesia berada di wilayah. pesisir, yang berfungsi menjadi lokasi permukiman, perdagangan, perhubungan, pengembangan industri dan berbagai sektor lainnya.  Banyak pembangunan sektoral, regional, swasta dan masyarakat mengambil tempat di kawasan pesisir, seperti reklamasi pantai baik untuk sektor perikanan, pariwisata, maupun pengerukan untuk pertambangan lepas pantai, dan pembangunan untuk menunjangn sarana perhubungan.  Pertumbuhan populasi penduduk di wilayah pesisir meningkat pesat yang disertai dengan berkembangnya kebutuhan akan sumber daya pesisir sehingga menimbulkan tekanan terhadap fungsi ekosistem pesisir.  Diperkirakan 60% dari populas'i penduduk, dan 80% dari lokasi 'industri berada di wilayah pesisir.

Berkembangnya berbagai kepentingan tersebut membuat wilayah pesisir menyangga beban lingkungan yang berat akibat pemanfaatan yang tak terkendali, tidak teratur, serta tidak mempertimbangkan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan.  Hal ini diperberat oleh kenyataan bahwa wilayah pesisir rentan terhadap perubahan lingkungan dan bencana alam karena pengaruh besar dari daratan dan lautan seperti tsunami, kenaikan paras muka air laut dan lain-lain. Pencemaran, erosi, sedimentasi, penyumbatan muara, gempuran gelombang, intrusi air laut, adalah beberapa kejadian umum yang selalu dialami di wilayah pesisir Indonesia.  Kejadian-kejadian tersebut dapat menimbulkan kerusakan ekosistem pesisir yang di kawasan-kawasan tertentu sudah sampai pada tingkat yang mengancam kapasitas berkelanjutan dari ekosistem pesisir dan lautan di masa-masa mendatang.

Dengan adanya teknologi inderaja yang meliput permukaan bumi dengan berbagai skala dan ketelitian, diharapkan perubahan dan kerusakan yang terjadi dapt ‘dilihat’ secara cepat dan tepat. Banyak metoda yang dapat dipergunakan dalam ‘melihat’ perubahan dan kerusakan tersebut yang umumnya berupa  “Land Cover Change Detection”, perubahan liputan lahan yang mungkin akibat kerusakan oleh alam maupun oleh manusia, peruhan lahan untuk pembangunan dan sebagainya. Penggunaan citra untuk ‘melihat’ kondisi kawasan pesisir yang

Untuk mempertahankan keadaan pesisir agar tidak rusak, kesehatan populasi mangrove dan terumbu karang adalah indikator pertama. Jika kerusakan mangrove akibat over eksploitasi oleh manusia, maka kahancuran ekosistem pantai sudah dapat dipastikan dengan berjalannya waktu, untuk itu perlu dikenal kedua komponen tersebur agar dapat diprioritaskan pelestariannya sesuai dengan rencana tata ruang yang ada.

Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang paling produktif dan merupakan sumber hara untuk perikanan pantai.  Hutan ini menyokong kehidupan sejumiah besar spesies binatang dengan menyediakan tempat berbiak, berpijah dan makan.  Spesies tersebut meliputi berbagai jenis burung, ikan, kerang dan krustasea seperti udang, kepiting.  Hutan bakau juga berfungsi sebagai pelindung pantai dan penstabilisasi dan berperan sebagai penyangga pencegah erosi yang disebabkan oleh arus, gelombang dan angin.  Mereka juga memainkan peranan penting sebagai pengendaii banjir dan pemelihara permukaan air di bawah tanah.

Perakaran yang kokoh dari mangrove (khususnya Rhizopora Sp) memiliki kemampuan untuk meredam pengaruh gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang dan badai.  Hutan mangrove juga merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan tempat pemijahan (spawning ground) beberapa hewan perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan.  Berbagai manfaat barang dan jasa, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat diperoleh dari hutan mangrove, seperti kayu bakar/arang, bahan bangunan, perlengkapan penangkapan ikan, pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan, obat-obatan, minuman, peralatan rumah tangga, bahan baku tekstil dan kulit, madu, lilin dan tempat rekreasi.

Terdapat 3 (tiga) parameter ekologi yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu suplai air tawar dan salinitas, pasokan nutrien, dan stabilitas substrat.

Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas terdapat di daerah tropis, meskipun pada beberapa belahan dunia non-tropis juga kita jumpai adanya terumbu karang.  Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh organisms karang (filum Snedaria, klas Anthozoa,, ordo Madreporaria dan Scleractinia), alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kaisium karbonat (Nybakken, 1988).

Terdapat dua kelompok karang, yaitu karang hermatifik dan karang ahermatifik.  Perbedaan kedua kelompok karang ini adalah terletak pada kemampuan karang hermatifik di dalam menghasilkan terumbu dalam volume yang lebih besar karena adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatiflk.  Karang hermatifik hanya dapat kita jumpai di daerah tropis, sedangkan karang ahermatifik tersebar di seturuh dunia.


Terdapat empat macam tipe struktur terumbu karang yang umum dijumpai di Indonesia,, yaitu terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef),, terumbu karang cincin atau atoll serta terumbu karang takat (patch reefs atau platform reefs).  Terumbu karang tepi merupakan tipe yang paling umum.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel